20190811_090749
Meraih Taqwa dengan Ibadah Qurban dalam Tafsir Al Ibris
“Bareng Ibrahim sak putrane wus tunduk patuh, kekarone wes podho samekta, pasune putrane wus dipetelake dening Nabi Ibrahim, nuli ono dhawuh timbalan saking Allah Ta’ala kang surasane : He.. Ibrahim! Sliramu wus mbenerake marang dhawuh wahyu sajerone supeno, kaya kang wus tinutur mau, Allah Ta’ala paring wales marang wong-wong kang gawe becik” ( QS. As Shaffat ayat 103-105)
Pembenaran mimpi yang diperoleh Nabi Ibrahim memang diperoleh dari Allah swt, mengenai perintah mengkurbankan putra tercinta beliau Nabi Ismail. Nabi Ibrahim dan Ismail telah memasrahkan diri, taat terhadap perintah Allah, selanjutnya Nabi Ibrahim membaringkan putranya atas pelipisnya atau mengarahkan wajahnya ketanah agar tidak dapat melihat wajahnya ketika hendak disembelih (lihat Q.S. As Shaffat:103)
Salah satu hadis mendukung kebenaran mimpi yang didapat Nabi Ibrahim agar mengkurbankan anaknya adalah sebagai berikut, Dari Ibnu Abbas r.a., berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Bahwasanya jibril pergi bersama Ibrahim ke Jumrah Aqabah kemudian setan berusaha menghalanginya, maka Ibrahim pun melemparinya dengan tujuh batu, hingga ia tenggelam di tanah kemudian dia pergi bersamanya ke Jumrah al-Quswa (Jumrah Ula saat ini) namun setan berusaha menghalanginya maka Ibrahim pun melemparinya dengan tujuh batu hingga dia tenggelam di tanah. Setelah Ibrahim hendak menyembelih Ismail as, dia berkata “Wahai Ayahku, ikatlah aku agar aku tidak meronta-ronta sehingga darahku sampai menimpamu, jika engkau telah menyembelihku, ‘Lalu Ibrahim pun mengikatnya dan setelah mengambil pisau dan hendak menyembelihnya maka diserulah dia dari belakang, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu…”(QS.As-Shaffat ayat 104-105) (HR.Ahmad)
Dilanjutkan ayat berikutnya “Sakjatine perintah nyembelih anak iku, cobo kang banget terange” (Q.S. As Shaffat ayat 106). Bermakna bahwa memang berita kebenaran perintah Allah agar Nabi Ibrahim menyembelih anaknya (Nabi Ismail) benar-benar ujian yang sangat nyata dan sangat berat apabila dilakukan tanpa keikhlasan dan ketaqwaan terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah swt. Atas ketaatan dan kesabaran antara keduanya, Akhirnya Nabi Ismail yang hendak disembelih oleh ayahnya digantikan oleh Allah dengan hewan sembelihan yang besar (disebutkan dalam Tafsir Al-Ibris Q.S. As Shaffat ayat 107 sebelihan yang besar itu wedhus gibas atau biasa disebut domba yang telah dewasa). Yang selanjutnya peristiwa ini menjadi dasar disyari’atkannya kurban yang dilakukan pada Hari Raya Haji.
Dalam ibadah Qurban dimasa sekarang bukan sekedar menyembelih binatang ternak/qurban sesuai ketentuan syari’at, namun hakikat melakukan Ibadah Qurban tersebut mampu lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. sehingga dapat meningkatkan ketaqwaan bagi yang melaksanakannya.
Perintah Allah tentang berqurban telah termaktub dalam Al-Quran QS. Al Kautsar ayat 2 yang berbunyi :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Mongko sholato siro kerono Pangeran siro lan nyembeleho” (Qs. Al Kautsar: 2 Terjemah Al Ibris).
Makna lan nyembeleho siro yaitu yang dimaksud berkurban adalah menyembelih hewan qurban atau al udh-hiyyah yang menurut istilah syar’i adalah hewan yang disembelih sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri pada Allah Ta’ala, yang dilaksanakan pada hari Idul Adha dan hari-hari tasyrik dengan syarat-syarat tertentu.
Substansi ibadah qurban sesungguhnya dapat dicapainya keikhlasan dan ketakwaan. Ciri orang taqwa dalam konsep Gus Mus ditunjukkan dengan sikap sabar, mengingat kembali historitas ibadah qurban turun dari perintah Allah terhadap Nabi Ibrahim melalui mimpinya yang telah dibenarkan dengan fiman Allah QS. As-Shaffat ayat 104-107 agar mengorbankan untuk menyembelih putra tercintanya.
Keterangan bahwa orang-orang yang melakukan ibadah Qurban diikuti iman, keikhlasan dan ketaqwaan dalam hatinya seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim akan mendapat balasan yang amat mulia. Nabi Ibrahim disebutkan dalam QS. As Shaffat ayat 109-111 mendapatkan sanjungan salam sejahtera dari Allah serta seluruh umat manusia berkat ketaqwaannya dan benar-benar nabi Ibrahim termasuk orang-orang yang beriman.
Maksud ketaqwaan dalam Ibadah Qurban lebih diperinci Allah setelah turun ayat seperti dalam firmanNya :
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Allah Ta’ala ora mundut daging (unto) qurban, lan ora mundut getih (unto) qurban, tetapi Allah mundut taqwa saking siro kabeh…” (Qs. Al Hajj: 37).
Orang-orang Kafir di Mekkah itu menyembelih unta lalu darahnya diratakan kesekitar Ka’bah, dagingnya dililitkan disebelah kiri kanan Ka’bah dengan beranggapan hal yang sepeti itu agar mendapat keridhoan dari Allah swt. lalu turunlah ayat yang diatas tersebut.
Sehingga dapat dimengerti bahwa, yang dimaksudkan bukan hanya menyembelih hewan qurban, lalu daging dan darah qurban tersebut dipersembahkan namun yang Allah harapkan sesungguhnya dari qurban tersebut adalah ketaqwaan dari seseorang tersebut seperti yang tercantum dalam arti surah diatas, “… tetapi Allah mundut taqwa saking siro kabeh”, sehingga amalan-amalan sholih kita yang diikuti keimanan dapat sampai dan diterima disisi Allah swt.
Selain tujuan utama ibadah Qurban ini mendekatkan diri kepada Allah dan meraih taqwa dan keridhoanNya, dari segi sosial hasil dari pembagian daging qurban dapat membantu masyarakat yang kurang mampu. Karenanya, ibadah ini digolongkan dalam sunnah yang dianjurkan karena banyak sekali membawa manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.
Wallahu ‘alam bisshawab

Explore More

Penasfiran Q.S Muhammad Ayat 19

Oleh Rikhanatul Azizah QS. Muhammad Ayat 19 Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang￾orang mukmin, laki-laki dan

Pandangan Bisri Mustofa tentang Kebaikan Akhirat (Kajian Tafsir Al-Ibriz Q.S Al-Baqarah Ayat 201)

Kebaikan dunia sekaligus akhirat menjadi impian yang besar semua umat muslim. Kebaikan akhirat sendiri merupakan buah kebijaksanaan manusia yang diharapkan kepada Allah SWT. untuk kehidupan haqiqi akhirat sebagai wujud hamba

Ekofeminisme dalam Tafsir Faid al-Rahman Kyai Sholeh Darat As-Samarani : Gagasan Berkeadilan Sosial dalam Bermasyarakat

Oleh: Ahmad Tisngi Hanani Interaksi seseorang dalam memahami kitab suci tidak hanya terbatas pada tekstual ayat semata, lebih dari itu seseorang membawa aspek-aspek di luar al-Qur’an sebagai media menemukan makna