20200213_104158_0000
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ ۖ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ
Anggono wong-wong murtad munafik den sasarake syetan mau, sebab deweke podho celathu marang wong-wong kang podo gething dhawuh-dhawuh kang den turunake dening Allah ta’ala iyo iku wong-wong musyrik, mengkene: ingsun tansah bakal nuruti siro kabeh ono ing setengahe urusan iro kabeh (ategese tansah belo marang siro kabeh, bareng-bareng musuhi Muhammad) Allah ta’ala tansah mirsani rahasia-rahhasiane wong-wong munafik.
Beberapa waktu yang lalu terbit film supranatural dari Malaysia tahun 2016 dengan judul ‘munafik’. Film ini di sutradarai oleh Syamsul Yosuf, merupakan film horror keduanya setelah ‘khufarat’. Film ‘munafik’ ini memiliki banyak penghargaan dan berhasil menang dalam ketegori ‘film terbaik bahasa kebangsaan’ di Malaysia. Film ini menjadi inspirasi penulis untuk mengkaji tentang munafik.
Dalam kehidupan sosial manusia tidak terlepas dari sikap baik maupun buruk yang dimiliki oleh setiap individu. Tidak jarang di sekitar kita yang kelihatan baik tapi kenyataannya buruk, begitu pun sebaliknya. Baik buruknya seseorang terhadap kita tergantung bagaimana sikap kita terhadapnya. Sering kita mendengar istilah ‘musuh dalam selimut’ yang kelihatannya baik di depan, tetapi diam-diam menusuk dari belakang. Begitulah manusia, zaman semakin maju dan berkembang, masih membudidayakan tradisi kuno.
Tradisi kuno yang masih mempertahankan tentang keegoisan dan mendahulukan kepentingan pribadi atas kepentingan kelompok. Sehingga mempermudah setan dalam melakukan visinya, yaitu mempengaruhi manusia menuju jalan yang sesat. Dengan demikian, sangat mudah bagi setan untuk menjalankan manusia kedalam lembah kemunafikan.
Lalu, bagaimana pendapat kyai Bisri Mustofa dalam kitab tafsir al ibriz tentang munafik?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, munafik adalah berpura-pura setia dan sebagainya kepada agama dan sebagainya, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua. Rosulullah SAW. menjelaskan terdapat tiga ciri bagi orang munafik yang termaktub dalam hadits riwayat Muslim, yang artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW. bersabda, tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika diberi amanat dia berkhianat.” (HR. Al-Bukhori)
Kata سَنُطِيعُكُمْ yang artinya insun tansah bakal nuruti siro kabeh ono ing setengahe urusan iro kabeh (ategese tansah belo marang siro kabeh, bareng-bareng musuhi Muhammad). Maksud dari kata insun yaitu saya (orang-orang munafik) mereka berbicara kasar (celathu) kepada orang musyrik karena, orang musyrik itu gething atau tidak suka terhadap ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT. dan maksud dari siro kabeh yaitu orang-orang musyrik.
Maksud dari tansah bakal nuruti, ono ing setengahe urusan iro kabeh (ategese tansah belo marang siro kabeh, bareng-bareng musuhi Muhammad). Mereka (orang munafik) akan mengikuti setengah dari urusan atau masalah orang musyrik.
KH. Bisri Musthofa menambahkan wong-wong munafik celathu mengkono mau, sarono coro kang samar banget. Nanging Allah Ta’ala nglahirake rahasia-rahasia mau, sarono paring wahyu maring Nabi Muhammad SAW. untung zaman iku pancen isih ono wahyu tumurun, dadi perkoro kang samar-samar kang den tinda’ake dening munafikin biso enggal dipirsani dening Nabi Muhammad SAW.
Pada masa dahulu, perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang munafik mudah terdetekasi, karena Allah mengungkap rahasia-rahasia orang munafik melalui wahyu Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagaimana dijelaskan juga dalam Q. S. Al-Baqarah ayat 14:
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Artinya: “Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok” (QS. Al-Baqarah [2]:14).
Ayat diatas sudah memberikan gambaran bagiamana orang munafik pada masa Nabi Muhammad SAW.
Dari beberapa ayat dalam Al Qur’an tentang munafik, bagaimana Al Ibriz menyajikan contoh seperti apa orang munafik itu?
Tafsir Al Ibriz dalam surat Muhammad ayat 14, KH. Bisri Mustofa menyajikan lengkap penafsiran tentang munafik. Selain, mengungkap makna yang terkansung dalam ayat tersebut, beliau juga memberikan perbandingan orang munafik pada zaman Nabi yang jauh berbeda dengan sekarang.
Pada masa Nabi, orang munafik mudah di ketahui dengan turunnya wahyu yang mengungkap kebenaran. Namun, masa sekarang jauh berbeda, yaitu “Bareng zaman koyo saiki-saiki, sakbenere ora namung ono ing kalangan pemerintahan sejatine menuso-menuso kang rahi loro iku isih akeh banget, ananging angel di sumurupi. Sajake koyo belo pemerintah, nanging sejatine malah memusuhi utowo ngerugekake pemerintah. Sajake koyo dulur namung sejatine malah musuh. Sajake koyo anggota kang setia, nanging sejatine malah mata-mata. Wallahu A’lam.” Begitulah ulasan tentang orang munafik. Kelihatannya berbanding terbalik dengan kenyataannya.

Explore More

PERILAKU BUNUH DIRI MENURUT AL-QUR’AN (Studi Kualitatif Penafsiran dalam Perspektif Tafsir al-Ibriz)

Mengenal Bunuh Diri Bunuh diri dalam bahasa Inggris: suicide, berasal dari kata Latin suicidium, dari sui caedere, yang berarti “membunuh diri sendiri” adalah sebuah tindakan sengaja yang menyebabkan kematian diri

Jihad dengan Ramah bukan Marah

oleh Lailatun Nadhiroh  اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖوَهُوَاَعْلَمُبِالْمُهْتَدِيْنَ﴿١٢٥﴾ “Sira Muhammad ngajak-ngajak amarang agamane pengeran ira kelawan

Ekofeminisme dalam Tafsir Faid al-Rahman Kyai Sholeh Darat As-Samarani : Gagasan Berkeadilan Sosial dalam Bermasyarakat

Oleh: Ahmad Tisngi Hanani Interaksi seseorang dalam memahami kitab suci tidak hanya terbatas pada tekstual ayat semata, lebih dari itu seseorang membawa aspek-aspek di luar al-Qur’an sebagai media menemukan makna