20200526_192836
“Siro kabeh podhoho nyawijikake ing Allah, ojo podho nyekutukake opo-opo. Lan ambagusono marang wong tuo loro, kerabat-kerabat, anak yatim, wong-wong miskin, tonggo kang parek, (cepak, cedhak, caket), tonggo adoh, lan konco ing lelungan utowo ono ing penggawean, lan ibnu sabil, lan budhak-budhak kang siro miliki, saktemene Allah Ta’ala iku ora dhemen wong kang gumedhe kang kumalungkung/anggak-anggakan”(Q.S. An Nisa :36 dalam tafsir Al-Ibriz)
Silaturrahmi adalah salah satu cara Islam dalam mempererat hubungan antar manusia dalam kehidupan di dunia baik di akhirat. Banyak sekali manfaat menarik yang bisa diperoleh dari silaturrahmi, baik secara lahiriah maupun bathiniah. Panjang umur, kokohnya persaudaraan, memperluas rezeki, dikenang dengan baik, hanyalah secuil manfaat yang bisa dirasakan melalui terjalinnya silaturrahmi. Manusia sebagai makhluk sosial tentunya wajib dan butuh dengan silaturrahmi. Silaturrahmi menjadi wadah bagi para mubaligh, menjadi aset dalam pebisnis, menjadi bahan dalam penelitian, dan masih banyak keuntungan yang akan datang dari jalan silaturrahmi. Namun bagaimana jika pandemi terus menghantui seperti saat ini?.
Hingga artikel ini dituliskan, pandemi covid-19 masih konsisten menyerang umat manusia secara global. Tentunya menjadi sebuah kerugian tersendiri bagi umat muslim, terkhusus pada bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Berubahnya prosedur silaturrahmi dalam idul fitri adalah dampak kecil dari munculnya pandemi. Masyarakat umum yang sudah terbiasa dengan nglencer ketika idul fitri harus terpaksa sedikit mengurangi porsinya. Bahkan ada juga beberapa ulama’ yang dengan halus melarang adanya silaturrahmi. Akan terus bermunculan sikap-sikap dalam menanggapi pandemi yang terjadi saat ini, baik secara ilmiah atau hanya lontaran opini. Sebagian akan menguatkan sejumlah masyarakat dan sebagian lain justru akan memperburuk keadaan.
Bukanlah perkara mudah bagi masyarakat umum yang sejatinya sangat gandrung akan keramaian mendadak dihadapkan pada pembatasan sosial. Gotong royong yang menjadi simbol kepedulian antar sesama, yang kadang diwujudkan dengan sentuhan fisik seperti bergandengan, berjabat tangan, dan yang lain. Kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging dalam sosial kemasyarakatan tersebut harus dihentikan untuk sementara demi pencegahan penyebaran virus.
Begitu juga dengan silaturrahmi yang tidak terlepas dari seluruh aspek sosial yang sudah berjalan sesuai adat istiadat yang ada. Tentunya akan muncul banyak pertanyaan baru seiring dengan adanya kebijakan dalam pelaksanaan silaturrahmi di tengah pandemi ini. QS An-Nisa’ ayat 36 merupakan salah satu dalil dilaksanakannya silaturrahmi, yang telah ditafsirkan oleh KH Musthofa Bisri seperti berikut:
“Siro kabeh podhoho nyawijikake ing Allah, ojo podho nyekutukake opo-opo. Lan ambagusono marang wong tuo loro, kerabat-kerabat, anak yatim, wong-wong miskin, tonggo kang parek, (cepak, cedhak, caket), tonggo adoh, lan konco ing lelungan utowo ono ing penggawean, lan ibnu sabil, lan budhak-budhak kang siro miliki, saktemene Allah Ta’ala iku ora dhemen wong kang gumedhe kang kumalungkung/anggak-anggakan”Q.S An-Nisa’:36
KH Musthofa Bisri menafsirkan QS An-Nisa’ ayat 36 seperti diatas.
Beliau memulai dengan perintah menyatu kepada Allah SWT, karena tiada ibadah lain kecuali dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. selanjutnya masuklah pada pemaknaan silaturrahmi menurut beliau. Dalam tafsir tersebut silaturrahmi bisa dimulai dari berbakti kepada orang tua, karena merekalah guru pertama dan orang yang paling dekat dengan kita. Selanjutnya barulah kita dianjurkan untuk berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga yang dekat. Sampai di sini, itulah urutan silaturrahmi yang sekiranya lebih pantas untuk di dahulukan. Selanjutnya adalah tetangga jauh yang bepergian dalam bekerja, dan ibnu sabil.
Silaturrahmi yang sedikit terganggu dengan pembatasan sosial yang telah diberlakukan di beberapa daerah agaknya mampu kita atasi dengan urutan yang telah diterangkan dalam QS An-Nisa’ diatas. Tanpa harus menghentikan silaturrahmi, kita bisa mengubah niat dan pelaksanaan dari silaturrahmi yang identik dengan saling mengunjungi rumah dan saling bermaaf maafan. Terlepas dari simpang siur keputusan setiap daerah dalam menanggapi silaturrahmi di tengah wabah ini, banyak sekali ganjaran dan ancaman perihal silaturrahmi yang telah dituliskan baik di Al-Quran maupun Hadits Nabi Muhammad SAW, salah satunya adalah :
“لا يدخل الجنة قاطع”
“Tidak akan masuk surga pemutus (silaturrahmi)”. HR. Bukhari dan Muslim
Hadits di atas menjadi momok bagi para pemutus silaturrahmi. di tengah wabah yang semakin merajalela ini, kita harus mampu mengulik sisi lain dari silaturrahmi, mengingat akan terbatasnya akses untuk transportasi dan bertemu secara langsung. Karena hanya akan menimbulkan masalah baru jika kita bersitegang untuk bersilaturrahmi dengan menemui seseorang dan melakukan kontak fisik. Ada beberapa hal yang lebih penting dari saling mengunjungi dan meleburkan kesalahan dengan bermaaf-maafan.
Allah SWT berfirman:
وَاَنذِرْعشِيرَتَكَ الأَقرَبِينَ””
Artinya: “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat” Q.S. Asy-Syu’Ara : 214.
Hal pertama yang kita lakukan demi terlaksananya silaturrahmi tanpa kontak langsung adalah memberikan nasihat kepada para kerabat yang masih jauh dari kebaikan dan hakikat dari Islam. Dengan cara memberikan nasihat secara lembut dan sebisa mungkin tidak menyinggung hati kerabat sudah mampu dikatakan mempererat silaturrahmi dan persaudaraan. Tanpa adanya tatap muka secara langsung pun saat ini kita bisa bebas berkeliling dunia melalui sosial media dan akses internet yang sudah ada. Maka bukanlah suatu kewajiban bagi kita untuk mengunjungi kerabat yang tidak berada pada satu lingkungan domisili kita.
“الأَخِلاَّء يَومَئِذٍ بعضُهُم لِبَعضٍ عدُوٌ الاَّ المتَّقِينَ”
Artinya: “Teman-teman kari pada hari itu (hari kiamat) saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka bertakwa.”
Hal kedua yang bisa kita lakukan adalah saling membantu dalam hal kebaikan, berbagi kepada kerabat yang kurang mampu, dan terus mendoakan agar kita semua terselamatkan. Donasi sosial dan saluran semangat dengan mengikuti anjuran pemerintah menjadi salah satu hal baik dalam kondisi saat ini. meningkatkan ketakwaan hal besar yang mampu kita tingkatkan dalam keadaan saat ini. biarlah kita sementara kita menunda habluminannas tapi kita bisa saja menggencarkan habluminallah, dan secara tidak langsung kita telah mengamalkan habluminal’alam dengan tidak ikut memperkeruh suasana pandemi yang semakin menjadi jadi.
“خُذِ العَفو وَامُربالعُرفِواعْرضْ عنِ الجاَهلِينَ”
Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta kangan pedulikan orang-orang jahil”. Q.S Al-A’raf: 199
“…… lan mlengoso saking wong-wong kang bodho, wong bodho-bodho gunemane olo, kasar, ojo siro padhane olo lan kasar, mengko mundhak dadi bodho kabeh” begitulah petuah KH Bishri Mushtofa agar kita menjauh dari orang orang yang berkata jelek dan kasar, karena itu merupakan ciri-ciri dari kebodohan, agar tidak menjadi orang bodoh semua.
Pemahaman dan pengamalan sifat pemaaf dalam pikiran umat muslim kebanyakan haruslah dirubah. Kebanyakan kita sudah memiliki konstruksi berpikir bahwa hari raya idul fitri merupakan momen untuk memaafkan. Sehingga agenda halal bihalal merupakan kewajiban setiap muslim setelah merayakan hari raya idul fitri. Untuk saat ini, bukanlah hal yang sangat mendesak bagi kita semua untuk mengadakan sebuah halal bihalal dalam skala besar. Cukup melalui media-media yang telah ada kita saling bermaaf-maafan. Taaruf kepada Allah dengan perbanyak dzikir dan ibadah mulia di lingkungan sendiri menjadi kegiatan yang wajib dilakukan umat Islam di tengah pandemi ini. Terus support seluruh umat manusia dengan kabar-kabar gembira, bukan malah menebar ketakutan dan ancaman. Semoga kita semua diselamatkan oleh Allah SWT melalui rahmat hidayat-Nya, Amiin.

Explore More

Ekofeminisme dalam Tafsir Faid al-Rahman Kyai Sholeh Darat As-Samarani : Gagasan Berkeadilan Sosial dalam Bermasyarakat

Oleh: Ahmad Tisngi Hanani Interaksi seseorang dalam memahami kitab suci tidak hanya terbatas pada tekstual ayat semata, lebih dari itu seseorang membawa aspek-aspek di luar al-Qur’an sebagai media menemukan makna

CINTA DALAM Al-QUR’AN (Menurut Bisri Mustofa Dalam Tafsir Al-Ibriiz)

Manusia merupakan salah satu makhluk Allah yang diberi anugerah berupa cinta. Cinta yang diberikan Allah terhadap makhluknya merupakan bukti kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya. Cinta yang dianugerahkan kepada makhluk-Nya hanyalah

Konsep Iman yang Terkandung dalam Al- Qur’an

Miftachul Jannah   إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ (4) الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ (3) أُولَٰئِكَ