Fase dalam kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia terutama seorang muslim yaitu menemukan pasangan hidup dengan melakukan pernikahan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadist nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dan Tirmidzi yang berbunyi:

Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah. Karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena dengan berpuasa itu dapat membentengi dirinya”.

Maka bila seorang telah siap dan mampu untuk membangun bahtera rumah tangga, maka menikahlah seperti apa yang telah Allah dan Rasulullah perintahkan terhadap kalian semua.

Pernikahan merupakan suatu ikatan sakral yang dilakukan oleh dua orang, karena dengan adanya pernikahan menjadikan hasrat seseorang dapat tersalurkan dalam bentuk ibadah. Dalam Undang Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Bab 1 pasal 1, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami  istri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Para Ulama’ fiqih pengikut 4 madzhab (Syafi’I, Hanafi, Hanbali, dan Maliki) mendefinisikan pernikahan dengan adanya akad yang membolehkan antara pria dan wanita untuk berhubungan badan dengan (diawali dalam akad) lafadz nikah atau yang serupa dengan dua kata tersebut.

 Sedangkan tujuan dari adanya pernikahan telah Allah firmankan dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21 yang mengatakan bahwa dengan menikah kamu akan cenderung dan akan merasa tentram dan Allah berikan diantara kamu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Mawaddah warahmah adalah anugerah yang Allah berikan kepada manusia ketika manusia melakukan pernikahan. Namun suatu pernikahan di dalamnya tidak melulu tentang kesenangan saja, terkadang akan ada berbagai rintangan yang menerjang, entah disebabkan oleh faktor ekonomi, keluarga, perbedaan pendapat, ataupun karena faktor lingkungan. Maka di sinilah dibutuhkannya suatu pengertian, dan sifat dewasa dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada. Kita diajarkan untuk tidak selalu gegabah dalam mengambil keputusan dalam suatu permasalahan, maka dibutuhkannya musyawarah antara kedua pihak, jika benar-benar tidak terselesaikan dan harus tetap merujuk kepada perceraian maka lakukanlah jika itu adalah yang terbaik.

Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat tentang perceraian, namun penulis di sini hanya akan mengkaji ayat-ayat tentang perceraian yang terdapat dalam surat ath-Thalaq. Pertama, pada ayat 1 dalam surat ath-Thalaq menjelaskan tentang waktu dibolehkannya melakukan perceraian. Apabila seorang suami hendak menceraikan istrinya, maka ceraikanlah istrimu ketika ia telah melalui masa iddahnya. Dalam kitab tafsir al-Ibriiz dijelaskan bahwa masa iddah itu setelah seorang istri suci dari masa haidnya dan tidak melakukan hubungan suami istri setelahnya dan diharuskan untuk menghitung masa iddahnya supaya segala sesuatunya menjadi terang. Dalam masa iddah, suami tidak memperbolehkan istrinya yang akan di talak tadi untuk keluar dari rumah sebelum selesai masa iddahnya, namun jika seorang istri melakukan zina secara terang-terangan maka dibolehkan kepada suami untuk mengeluarkannya dari rumah.

Terdapat banyak kritikan tentang ketentuan masa iddah bagi perempuan, di mana ketentuan ini dianggap sebagai ketentuan yang mengundang diskriminatif. Seperti: bagaimana jika seorang istri yang masih menunggu masa iddahnya sedangkan di saat yang sama seorang suami dapat melangsungkan akad? Begitu juga dalam iddah  karena meninggal, ketika suami meninggal sang istri masih harus menunggu masa iddahnya, sedangkan jika istri yang meninggal maka tidak ada kewajiban yang sama bagi suami.

RUU HMPA bidang perkawinan tentang ketentuan waktu tunggu iddah bagi seorang istri yang akan ditalak yang diatur dalam pasal 123 yang berlaku hanya bagi wanita (janda)  sebagai mana berikut: 1) Waktu tunggu (masa iddah) berlaku bagi janda yang yang perkawinannya putus kecuali perkawinan sebelum melakukan hubungan badan, 2) Waktu tunggu ditentukan: apabila perkawinan putus karena kematian maka waktu tunggunya 130 hari terhitung setelah kematian suaminya.

Jika perkawinan putus karena putusan pengadilan, maka waktu tunggunya 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan janda yang tidak haid masa tunggunya 90 hari terhitung setelah diucapkan ikrar talak atau putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tepat. Apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena kematian sedangkan si istri sedang hamil maka waktu tunggunya sampai kelahiran anaknya. 3) Waktu tunggu bagi istri yang masih dalam usia haid sedangkan ketika menjalani masa iddahnya ia tidak haid karena menyusui, maka masa tunggunya 90 hari atau tiga bulan. 4)  Seorang istri yang masih dalam usia haid ketika menjalani masa iddahnya tidak haid bukan karena menyusui maka masa tunggunya 1 tahun, akan tetapi apabila ia haid kembali dalam waktu tersebut maka masa tunggunya 3 kali suci.

            Kedua, pada ayat ke-2 dalam surat ath-Thalak tentang ketentuan setelah masa iddah seorang istri habis. Dijelaskan dalam tafsir al-Ibriz apabila masa iddah seorang istri yang akan  dicerikan telah usai,  jika ingin rujuk kembali maka lakukanlah dengan baik, jika tetap ingin melakukan perceraian maka lakukanlah dengan baik pula, tidak hanya rujuk karena agar masa iddah istrinya bertambah panjang. Maka datangkanlah dua saksi yang adil yang akan menjadi saksi akan perceraian atau sebagai saksi rujuk kembali. Dan jadikanlah kesaksian tadi karena Allah. Demikianlah pengajaran yang telah Allah berikan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bagi mereka yang menjalankan perintah Allah, maka Allah akan membukakan jalan keluar baginya di dunia dan akhirat.

            Konsep saksi keluarga dalam perkara perceraian di pengadilan agama terdiri dari 2 konsep yaitu: 1) Konsep saksi keluarga hanya untuk perkara perceraian dengan alasan yang syiqaq, tidak untuk semua alasan perceraian. Pasal 76 Undang-undang Peradilan Agama sebelum melakukan keputusan perkara, hakim harus mendengarkan keterangan saksi dari pihak suami istri, jika tidak dimungkinkan menghadirkan saksi keluarga, maka hakim dapat meminta kedua belah pihak untuk mendatangkan orang-orang yang terdekat dengan suami istri, dan jika dipandang perlu maka hakim dapat mengangkat hakam. 2) Konsep saksi keluarga untuk selain alasan syiqaq. Konsep ini sebaliknya dari konsep pertama, dimana saksi-saksi yang dihadirkan para pihak adalah dari kalangan keluarga untuk perceraian selain alasan syiqaq. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian perkara perceraian di pengadilan agama tidak mempersoalkan kecakapan saksi, apakah ada hubungan keluarga dengan para pihak atau lainnya, sehingga untuk perceraian dengan alasan syiqaq ataupun selain alasan syiqaq, keterangan saksi keluarga tetap cakap atau bersifat fakultatif.

Dari dua konsep yang telah dijelaskan tadi, setiapnya mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, namun putusan hakim yang menganut konsep ke-2 di dalamnya tidak ditemukan alasan yang jelas dan tepat sebagai pertimbangan hukum dalam menerima kecakapan saksi keluarga untuk alasan perceraian selain syiqaq. Karena pertimbangan saksi keluarga hanya didasari dari dua pasal yaitu pasal 76 Undang-undang Peradilan Agama yang berisikan bahwa saksi keluarga hanya digunakan untuk perceraian dengan alasan syiqaq dan pasal 22 ayat 2 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan perkawinan, di mana pelaksanaan Undang-undang perkawinan hanya dapat digunakan untuk mendengar pihak keluarga di luar sumpah pada perceraian dengan alasan syiqaq.

            Perceraian dengan alasan selain syiqaq bisa diakibatkan karena salah satu pihak ada yang berbuat zina, pemabuk, penjudi, dll. Juga bisa salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain, salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun ataupun hukuman yang lebih berat dari itu, salah satu pihak melakukan kekerasan, penganiayaan yang membahayakan pihak lain, dll.

            Ketiga, ayat ke-4 dan ke-5 surat ath-Thalaq tentang masa iddahnya istri yang telah menopause. Dalam kitab Tafsir al-Ibriz dijelaskan bahwa masa iddah bagi seorang istri yang telah menopause adalah 3 bulan, begitu juga untuk seorang istri yang belum pernah haid (dikarenakan masih terlalu kecil misalnya). Sedangkan masa iddah bagi seorang istri yang hamil adalah hingga mereka melahirkan. Sesungguhnya Allah akan memberikan  kemudahan bagi orang-orang yang bertaqwa atas segala urusannya.

Dari keterangan diatas tentang masa iddah, semua itu adalah hukum yang Allah turunkan untuk umat manusia lakukan. Barang siapa yang takut kepada Allah ta’ala, maka sesungguhnya Allah akan menghapus segala kesalahan-kesalannya dan Allah akan memberikan pahala kepadanya.

            Menopause terjadi saat ovarium dan indung telur di dalam tubuh wanita tidak lagi melepaskan sel telur, sehingga tubuhnya tidak dapat mengalami menstruasi lagi. Seorang yang mengalami menopause akan merasakan penurunan alami pada hormon reproduksinya, di mana hal ini akan terjadi pada seorang wanita yang berusia 40-an atau 50-an. Menopause ditandai dengan berbagai  gejala, salah satunya adalah tidak ada menstruasi atau menstruasi yang tidak teratur, juga biasanya ditandai dengan 12 bulan sejak haid terakhir.

            Keempat, ayat ke-6 surat ath-Thalak tentang kewajiban seorang suami yang telah menceraikan istrinya yaitu memberikan tempat tinggal sesuai kemampuan suami dan janganlah menyusahkannya. Dan jika istri yang ditalak sedang hamil, maka nafkahilah ia sampai melahirkan. Kemudian jika dia menyusui anakmu, maka berikanlah imbalan dan bermusyawarahlah dengannya berapa jumlah imbalan dari menyusui tadi. Apabila seorang suami tidak mau memberi imbalan dari menyusui dan istri tidak mau menyusui, maka perempuan lain boleh menyusui anaknya.

            Demikianlah ayat-ayat tentang cerai yang telah Allah firmankan dalam surat ath-Thalaq ayat 1 sampai ayat 6. Meskipun islam mensyaratkan perceraian akan tetapi bukan berarti islam menyukai adanya perceraian sekalipun dibolehkan. Jika berbagai upaya telah dilakukan untuk tetap mempertahankan rumah tangga namun tetap buntu, maka jalan akhirnya adalah bercerai meskipun tidakan tersebut sangat tidak disukai oleh Allah SWT, sebagaimana dalam sebuah hadist dijelaskan:

اَبغَضُ الحلَال اِلَي اللهِ تعالي الطَّلَاق

“Barang halal yang sangat dibenci Allah adalah talaq”.

@Mariatul Qibtiyah (IAT- Semester 6)

Explore More

KONSEP AN-NAUM DALAM AL-QURAN PERSPEKTIF TAFSIR AL-IBRIZ

Mengenal Naum Naum (tidur) secara etimologi dalam lisan arab berarti ngantuk (nu’as). Tidur apabila seseorang telah berabring disebut ruqud. Sedangkan secara terminology tidur dapat diartikan suatu kondisi seseorang yang tidak

KONSEP GENDER DALAM TAFSIR AL IBRIZ

Sekilas Biografi KH. Bisri Mustofa KH. Bisri Mustofa lahir pada tahun 1915 M. di kampung Sawahan Gang Palen, Rembang, Jawa Tengah. KH. Bisri Mustofa merupakan putra dari pasangan H. Zainal