Mengenal Naum
Naum (tidur) secara etimologi dalam lisan arab berarti ngantuk (nu’as). Tidur apabila seseorang telah berabring disebut ruqud. Sedangkan secara terminology tidur dapat diartikan suatu kondisi seseorang yang tidak sadar dimana seseorang membutuhkan stimulasi atau sensoris untuk dapat bangun. Tidur juga juga dapat dikatakan sebagai sebuah ketenangan seseorang, tanpa kegiatan. Naum dalam bahasa arab berasal dari kata nawama yang berarti yadullu ‘alajumudin wa sukunin maksudnya menunjukkan kebekuan sebab oaran yang tidur tidak bergerak dan tenang juga bisa berarti orang yang tidur.
Dalam kamus bahasa Indonesia tidur adalah keadaan dimana badan dan kesadaran berhenti (dengan memejakan mata). Sedangkan dalam ilmu kesehatan, tidur merupakan suatu proses fisiologi yang normal yang bersifat, aktif, teratur, berulang, dan tidak dapat merespon terhadap lingkungan.proses tidur membutuhkan kerja otak untuk menunjang proses fisiologis.
Tidur merupakan suatu fenomena kehidupan yang normal. Jika kurang tidur, maka akan mengganggu konstrasi. Tidur merupakan kebutuhan biologis setiap manusia begitu dengan mahkluk hidup yang lain. Fungsi tidur untuk mengistirahatkan tubuh, pikiran, dan hatinya. Tidur dan istirahat merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi setiap orang. Dengan tidur dan istirahat yang cukup, tubuh akan berfungsi secara optimal.
Kata istirahat memiliki arti berhenti sejenak untuk melepaskan lelah, melepaskan diri dari rasapenat sehabis beraktifitas. Tidur merupakan aktiftas yang penting bagi manusia, apabila dapat diajalani dengan baik maka efeknya ke berbagai dimensi kehidupan seseorang. Tidur berpengaruh terhadap tingkat kewaspadaan, konsntrasi, energy dan sebagainya. Tidur disertai dengan mimpi juga berpengaruh terhadap mood seseorang keeseokan harinya. Setiap manusia akan melewati waktu tidur dan terjaga. Hal ini diatur oleh salah satu system saraf pada otak tepatnya pada area rongga otak disebut Hypotalamus. Hypotalamus ini mengatur jam biologis pada manusia atau hewan sehingga mereka akan tidur atau bangun pada jam-jam tertentu. Tetapi ada sebagian pakar kelenjar pineal-lah yang mengontrol jam biologis seseorang. Sebagian yang lain ada yang meyakini bahwa pergantian malam dan siang-lah yang mempengaruhi jam biologis seseorang.
Horizon Quran tentang Tidur
- Makna Tidur
اَفَاَمِنَ اَهْلُ الْقُرٰٓى اَنْ يَّأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَّهُمْ نَاۤىِٕمُوْنَۗ
Artinya: ”Opo ahli deso ora kuatir tumekone sikso, ono ing wektu mbengi sajerone dheweke podho turu?(sajerone podho talumpe)”
Penafsiran Bisri Mustofa terhadap surat al-A’raf ayat 97 bahwa orang-orang desa pada saat itu tidak merasa khawatir akan datangnya siksa disaat malam hari ketika mereka sedang tidur. Mereka merasa tidak mungkin akan terkena sanksi Allah dan mereka merasa aman berada di rumah pada malam hari dimana mereka sedang tertidur lelap. Karena bisa jadi, jika tidak dalam keadaan tidur mereka dapat menghindar dari sanksi Allah.
Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan bagaimana kedurhakaan dan kebejatan yang dilakukan oleh penduduk kafir negeri Mekkah yang melupakan ancaman-ancaman yang datang kepada mereka. Sebab kedurhakaan akan mengakibatkan kekacaun dan permusuhan sehingga tenaga dan pikiran tidak lagi tertuju pada upaya kesejahteraan melainkan bagaimana upaya untuk membentengi diri dari ancaman sesama. Pada ayat 98 juga dijelaskan apakah penduduk negeri akan aman dari sanksi Allah pada waktu dhuha ketika matahari naik sepenggalan, yakni waktu biasannya manusia sangat giat dan segar saat sedang bermain.
Ayat 97-98 menggambarkan bahwa aktifitas orang kafir ada dua jenis kegiatan, yaitu tidur lelap dan bermain. Sehingga kedua ayat tersebut mengisyaratkan bahwa siksa Allah datang pada saat orang-orang tidak dapat menduganya. Apabila mereka dapat menduga pastinya mereka tidak akan bisa tidur dan bermain.
Sunnah-sunnah Allah dalam menghadapi kaum pembangkang ada tiga. Pertama, manusia diberi peringatan melalui berbagai ujian dan bencana dengan harapan mereka agar sadar dan memperbaiki diri. Apabila hal ini tidak dilakukan maka hati mereka akan tertutup dan mereka bergeling dosa dan semakin tidak sadarkan diri. Kedua, mereka lebih banyak mendapatkan kesenangan yang hakikatnya hanya salah satu bentuk makar (tipu daya) Allah. ketiga, tidak ada aktifitas lain bagi mereka kecuali bermain, atau istirahat dan terlena dalam tidur. Dan ketika itu siksa Allah datang menimpa mereka diwaktu yang tak terduga. Hal ini juga tertuang dalam surah Al-Qalam: 19
فَطَافَ عَلَيۡهَا طَآٮِٕفٌ مِّنۡ رَّبِّكَ وَهُمۡ نَآٮِٕمُوۡنَ
Artinya: “Tibane kebonan mau, ketrajang gegeblug bengi saking Pangeran siro (yaoiku homo genin kang biso ngobong tanduran) sedeng dheweke kang podho nduweni kebonan enak-enak turu.”
Bisri Mustofa dalam kitab tafsirnya menjelaskan ayat ini dengan menceritakan kejadian yang dialami para pekebun yang enggan memberikan sebagian hartanya. Pada akhirnya Allah memberikan bencana kepada mereka dengan membakar kebun tersebut hingga hangus tanpa tersisa. Terbakarnya kebun tersebut pada waktu malam hari disaat mereka tertidur lelap. Dari sini dapat dipahami bahwa Allah dapat mendatangkan bencana diwaktu yang tak terduga meskipun pada waktu malam hari dalam keadaan tidur untuk istirahat dan berharap esok harinya memiliki nasib yang sama seperti hari sebelumnya.
Sedangkan Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini tidak spesifik melainkan dijelaskan secara tersirat pada ayat sebelum dan sesudahnya. Quraish Shihab menjelaskan pada ayat sebelumnya tentang kisah pemilik kebun yang angkuh akan kepemilikan harta mereka. Allah menguji pemilik kebun tersebut dengan memetik hasil kebun mereka dipagi hari agar fakir miskin tidak ikut mengambilnya, serta ucapan mereka tidak menunjukkan keterikatan atas kehendak Allah seperti “kami akan memetiknya besok pagi Insya Allah.” Oleh karena itu mereka mendapat bencana dari Allah ketika mereka para pemilik kebun sedang terlelap tidur. Allah menjadikan kebun itu bagai malam gelap gulita atau hangus dan menjadi abu yang pohon-pohonnya telah gundul yang telah dipetik semua buahnya.
Bencana yang menimpa pemilik kebun pada malam hari disaat mereka terlelap tidur ketika mereka terbangun nasib mereka tidak sesuai harapan mereka. Sehingga Al-quran mengisyaratkan bahwa pemilik kebun tersebut berada dalam kerugian yang yang besar. Apapun bencana yang datang kepada mereka semua itu berasal dari Allah. Ujian dan cobaan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya merupakan bagian dari pendidikan dan bimbingan Allah agar para manusia sadar dan kembali ke jalan yang benar.
- Tidur sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah
وَمِنْ اٰيٰتِهِ مَنَامُكُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاۤؤُكُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّسْمَعُوْنَ
Artinya: “Setengah saking ayat-ayate Allah Ta’ala maneh, iyo iku bisane turu siro kabeh ono ing waktu bengi lan rino (supoyo istirahat) lan naprih iro kabeh (ing wektu rahino) saking kanugerahane Allah Ta’ala. Temenan sakjerone iku mau kabeh, ono ayat-ayat tumerao wong-wong kang podho gelem ngerungu dhawuh-dhawuh”
Tidur merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah, hal ini tertuang dalam Ar-Rum: 23. Penjelasan Bisri Mustofa dalam kitab tafsirnya bahwa ayat ini Allah menjadikan malam sebagai waktu istirahat dan siang untuk berusaha. Hal ini merupakan kekuasaan Allah dan ayat ini untuk mereka para manusia yang mau memperhatikan tanda-tanda kekuasan-Nya.
Quraish Shihab dalam bukunya, para ulama memahami arti “diantara tanda-tanda-Nya adalah tidur kamu diwaktu malam dan usaha kamu mencari rezeki diwaktu siang” bahwa hal tersebut sejalan dengan banyak ayat al-Quran yang menjelaskan bahwa Allah menjadikan malam untuk beristirahat dan siang untuk mencari rezekinya (an-Naba’: 10-11). Secara umum, memang malam untuk tidur dan siang untuk bekerja. Akan tetapi pemahaman tersebut tidak harus selalu demikian.
Tidak ada halangan memahami ayat-ayat diatas sesuai teks dan bunyinya. Dewasa-dewasa ini, malam menjadi waktu tidur sekaligus mencari rezeki dan siang juga digunakan untuk kedua tujuan tersebut. Bahkan, sebagian orang yang pekerjaannya lebih banyak dihabiskan diwaktu malam dibanding dengan siang harinya. Lebih lagi, beliau juga mengungkapkan bahwa para ilmuwan belum mengetahui secara persis proses tidur, bagaimana ia terjadi, apa hakikat mimpi dan lain-lain. Tidur meruapakan salah satu bukti kiuasa Allah yang masih memerlukan banyak penelitian untuk mencari hakikat yang sebenarnya.
Maka dari ayat diatas dapat dipahami bahwa tidur salah satu tanda kekuasaan Allah SWT. Dimana Allah menjadikan tidur dimalam hari sebagai waktu istirahat dan menjadikan siang hari untuk mencari kemuliaan Allah yakni berupa, rezeki, nafkah, dan bekerja menghidupi keluarga.
- Tidur tidak berlaku bagi Allah sang Pencipta
Seluruh mahkluk hidup baik manusia maupu hewan pasti memerlukan tidur. Berbeda dengan Sang Pencipta alam semesta Allah SWT yang tidaklah pantas dan tidak boleh merasa kantuk apalagi tidur. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah dalam surah al-Baqarah: 255
اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ ەۚ لَا تَأْخُذُه سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ
Artinya: “Allah Ta’ala iku pengeran kang sejati, ora ono Pangeran kang haq kasembah kejobo Panjenengane dhewe, kang asifat urip, kang tansah jumeneng ngurus mahkluke, ora ngantuk lan ora sare, kang kagungan sekabehe kang ono ing langit bumi…”
Bisri Mustofa menfasirkan ayat ini bahwa Allah itu Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dia Allah yang yang terus mengurus mahkhluk-Nya tanpa ada rasa kantuk bahkan tidur. Dia Allah Maha pemilik langit dan bumi dan seisinya.
Kalimat لَا تَأْخُذُه سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ “Dia tidak dapat dikalahkan oleh kantuk dan tidur”. Bahwasanya Allah berbeda dengan manusia yang tidak kuasa menahan rasa kantuk dan tidak dapat mengelak dari tidur. Sedangkan Allah akan terus menerus menjaga dan siap siaga dalam mengatur hamba-hamba-Nya, dengan penjelasan ini maka hilang sudah keraguan terhadap Allah.
Dalam bukunya yang lain Quraish Shihab juga mengatakan bahwa dalam surat al-baqarah ayat 255 sebelum kata naum didahului kata sinah yang berarti kantuk. Maka kedua kata ini saling berdampingan untuk menegaskan bahwasanya Allah tidak mengantuk dan tidak tidur untuk mengatur alam semesta ini. Tidak ada manusia yang tidur tanpa didahului dengan rasa kantuk, sebab kantuk merupakan permulaan tidur. Maka dapat dipahami bahwa tidak dapat dibayangka jikalau Allah akan tidur sebab rasa kantuk tidak ada pada-Nya. Rasa kantuk dan tidur hanya milik makhluk-Nya, yang hal tersebut merupakan suatu kelemahan dan kelalaian yang berakibat pada kesalahan dan ketidaksempurnaan dalam melakukan pekerjaan. Sekiranya Allah mengalami hal demikian, tentu alam dan seisinya akan kacau.
- Tidur sebagai Sarana Istirahat
وَّجَعَلۡنَا نَوۡمَكُمۡ سُبَاتًا
Artinya: “Dan Kami menjadikan tidurmu untuk istirahat”
Tidur sebagai sarana istirahat tertuang dalam surah An-Naba’: 9. Dalam kitab tafsir al Ibriz, Bisri Mustofa tidak menafsirkan ayat ini secara tersendiri, melainkan berkesinambungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Namun dapat dipahami dari penafsirannya bahwa Allah menjadikan tidur bagi manusia sebagai sarana istirahat sehingga Allah menjadikan malam sebagai penutup dan siang untuk bekerja.
Kata subat dalam ayat ini bermakna beristirahat dan tenang. Makna lain subat ialah menghentikan diri dari segala aktivitas pekerjaan. Jadi yang dimaksud dalam ayat ini adalah menghentikan segala gerakan badan dan mengistirahatkan badan sementara. Menurut al-Isfahani dalam kitabnya al-Mufradat fi Gharibil Quran asal makna subat adalah al-Qat’u yang berarti terpotong, sabata as-sair; memotong jalan, dan sabat sya’rahu; memotong rambutnya. Para ahli juga memaknai subat dengan menghentikan gerakan, anggota badan, tenaga, tidur tidak disadari, atau permulaan tidur yang rasakan di kepala. Dengan demikian pemahaman para ahli mengenai makna subat beraneka ragam.
Quraish Shihab mengartikan kata subat yang terambil dari kata sabata yang berarti memutus. Yang diputus adalah sebuah kegiatan yang pada akhirnya mengandung makna istirahat. Ada juga yang memahaminya dengan makna tenang yakni tenangnya seseorang yang mulanya giat yaitu ketika seseorang sedang sadar. Dari sini diartikan dengan tidur.
Tidur sebagai sarana istirahat juga tertuang dalam surah Al-Furqan: 47
وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ لِبَاسًا وَّالنَّوْمَ سُبَاتًا وَّجَعَلَ النَّهَارَ نُشُوْرًا
Artinya: “Iyo Allah Ta’ala iku Dzat kang nitahake bengi minongko kanggo sandangan tumerap siro kabeh, lan nitahake turu minongko kanggo ngaso, lan nitahake rino minongko kanggo lungo rono rene golek maisyah.”
Penafsiran Bisri Mustofa terhadap ayat ini adalah bahwa tidur sebagai istirahat, sehingga menjadikan malam sebagai penutup dan siang untuk mencari nafkah. Pengertian Allah menjadikan malam sebagai penutup tidak berbeda dengan baju sebagai penutup bagi manusia sebab waktu malam waktu yang tepat untuk beristirahat atau tidur.
Quraish Shihab mengartikan kata subat yang diambil dari kata sabata dengan arti memutus, maksudnya memutus kegiatan dan gerak tanpa mencabut nyawa. Beliau menjelaskan ayat diatas bahwa diantara bukti keesaan dan kekuasaan Allah yakni menjadikan malam sebai pakaian untuk menutupi diri, dan menjadikan tidur untuk beristirahata guna memulihkan tenaga, dan menjadikan siang untuk berusaha mencari rezeki.
- Tidur Sebagai Kematian Kecil
Tidur juga disebut sebagai kematian kecil, sebab orang tidur berada diantara hidup diluar waktu kesadaran dan diluar pengetahuan. Orang yang tidur berada di alam lain yang tidak ia sadari dan dipahami sedikit pun. Orang ang sedang tidur juga tidak bisa merasakan perjalanan waktu. Apabila sseorang tidak lagi bangun dalam tidurnya berarti ia masuk ke dalam kematian besar atau sesungguhnya. Firman Allah dalam surah az-Zumar: 42
اَللّٰهُ يَتَوَفَّى الْاَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَامِهَا ۚ فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضٰى عَلَيْهَا الْمَوْتَ
وَيُرْسِلُ الْاُخْرٰىٓ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Artinya: “Allah Ta’ala iku mundhut nyowo-nyowo sangking badan wadage menuso, nalika matine menuso iku, lan ugo mundhut nyawa kang ora mati sajerone turune, mongko Allah Ta’ala ngeasto nyowo kang neka’ake dumadine pati, lan ngeculake wenehe tumeko ajal kang katemto;ake. Sejatie sajerone kang mengkono iku, dadi ayat tondho kekuwasaane Allah ta’ala, tumerap kaum kang podho gelem mikir.”
Pendapat Bisri Muntofa dalam tafsinya mengibaratkan manusia seperti lampu listrik. Lampu listri dapat menyala sebab ada dua kawat. Beliau menyebut dua kawat tersebut dengan kawat air dan kawat api, apabila kawat air itu terputus, lampu tidak menyala, tapi kawat api apabila dipegang masih ada kontak. Apabila kedua kawat terputus maka lampu tidak akan menyala dan tidak ada kontak. Sama halnya dengan manusia. Apabila manusia kawat air pada manusia terputus maka manusia tersebut sedang tidur, sebab matanya tidak dapat melihat, telinga tidak dapat mendengar, tetapi masih bisa bernafas. Apabila kawat air disambung kembali manusia akan bangun dari tidurnya. Apabila kedua kawat terputus maka manusia akan mati dan itu semua termasuk kekuasaan Allah.
Pendapat ar-Razi dalam tafsirnya yang dinukil dari tafsir Ibnu ‘Abbas bahwa “sesungguhnya arwah orang yang hidup dan orang wafat bertemu saat tidur, mereka saling mengenal atas kehendak Allah, apabila mereka ingin kembali ke jasadnya masing-masing, Allah akan menahan ruhnya orang yang mati, dan melepas kembali ruhnya ke jasadnya orang yang masih hidup.” Oleh karena itu, mengapa Ibnu ‘Abbas menafsirkan kata an-Nafs dengan kata ar-Ruh dari ayat tersebut.
Argumentasi Ibnu ‘Abbas berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW apabila hendak tidur beliau meletakkan tangan kanannya dipipinya kemudian berdoa:
اللهُمَّ بِسْمِكَ أَحْيَا وَأَمُوْتُ (رواه النسائي)
Dengan nama-Mu saya mati dan hidup. (Riwayat an-Nasa’i)
Lalu beliau berdoa lagi, setelah bangun:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَنَا بَعْدَمَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرُ, اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ رُدُ إِلَيَّ رُوْحِيْ فِيْ جَسَدِيْ وَأَذِّنْ لِيْ بِذِكْرِيْ. (رواه البخاري عن حذيفة)
Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami dan setelah mematikan kami, serta hanya kepada-Nya tempat kembali, Segala puji bagi Allah yang telah mengembalikan ruhku kepadaku, dan memberikan kesehatan pada jasadku, dan telah mengizinkanku untuk selalu mengingat-Nya. (Riwayat al-Bukhari dari Huzaifah)
Kedua hadist diatas mengindikasikan bahwa tidur adalah kematian kecil. Sebab, disaat manusia sedang tidur yang hidup di dalam tubuhnya adalah misteri kehidupan. Indra yang ada di tubuh manusia seperti mata, telinga, dan indra lainnya juga tertidur.
Dalam hadist lain Nabi SAW juga bersabda:
اَلنَّوْمُ أَخُو الْمَوْتُ (رواه بيهقي)
Tidur adalah saudaranya (serupa) dengan mati. (Riwayat Baihaqi)
Sebenarnya semua manusia setiap hari melawati dua keadaan yang sangat mirip dengan kematian dan kebangkitan setelah mati. Dua keadaan tersebut adalah keadaan sadar dan keadaan mati. Rasulullah SAW bersabda: ”Sebagaimana kalian tidur maka seperti itulah kalian dimatikan, dan sebagaimana kalian bangun maka seperti itu pulalah kalian dibangkitkan”.
- Tidur Kaitannya Dengan Mimpi
اِذْ يُرِيْكَهُمُ اللّٰهُ فِيْ مَنَامِكَ قَلِيْلًاۗ وَلَوْ اَرٰىكَهُمْ كَثِيْرًا لَّفَشِلْتُمْ وَلَتَنَازَعْتُمْ فِى الْاَمْرِ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ سَلَّمَۗ اِنَّهٗ عَلِيْمٌۢ بِذَاتِ الصُّدُوْرِ
Tidur berkaitan dengan mimpi tertuang dalam surah Al-Anfal: 43,
Bisri Mustofa menafsirkan ayat ini bahwa Nabi Muhammad sedang bermimpi pada saat akan Perang Badar. Ia bermimpi, bahwa musuhnya pasukan Qurays hanya sedikit sehingga Nabi Muhammad mencritakan mimpinya kepada para sahabat, para sahabatpun merasa gembira. Apabila Nabi bermimpi dengan diperlihatkannya bahwa pasukan Qurays lebih banyak, maka para sahabat akan berkecil hati dan menyerah untuk berperang.
Sedangkan Quraish Shihab menjelaskan dalam ayat ini mengisahkan bahwa Rasulullah SAW mengalami mimpi sebelum terjadi perang Badar. Dimana Allah memperlihatkan dalam mimpi Nabi Muhammad SAW bahwa pasukan sNabi berjumlah sedikit sehingga apabila mimpi tersebut disampaikan kepada para kaum muslimin, mereka lebih berani dan bersemangat. Apabila Allah juga memperlihatkan bahwa pasukan kaum musyrikin lebih banyak maka pasukan muslim, maka mereka akan gentar dan semakin melemah. Mimpi yang dialami Nabi merupakan salah satu dari tiga cara dalam penyampaian wahyu Allah. Yang pertama lewat mimpi, kedua melalui malaikat Jibril, dan yang ketiga berbicara langsung dibelakang hijab seperti yang dialami Nabi Musa as. Tidur berkaitan dengan mimpi juga disebtkan dalam surah ash-Shaffat: 102
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
Telah disebutkan sebelumnya bahwa mimpi yang bersumber dari Allah dalam al-Quran menggunakan istilah ru’ya. Dalam ayat ini Allah menggunakan istilah ru’ya untuk mengisahkan kisah Nabi Ibrahim as yang akan menyembelih anaknya Nabi Ismail as. Bisri Mustofa mengungkapkan dalam tafsirnya bahwa perintah Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail anaknya sendiri disampaikan lewat mimpi pada saat ia tidur. Kemudian Ibrahim menyampaikan mimpi tersebut kepada Ismail dan meminta pendapat Nabi Ismail. Nabi Ismail-pun menyetujui bahwa ia siap untuk disembelih, sebab hal tersebut merupakan perintah Allah, dan bagaimanapun bentuk, cara, dan kandungan yang diperintahkan oleh Allah maka Nabi Ismail sepenuhnya pasrah.
Dapat dijangkau, jauh sebelum itu pasti Nabi Ibrahim telah menanamkan dalam hati dan benak Nabi Ismail tentang keesaan Allah SWT dan sifat-sifat-Nya dan bagaimana seharusnya kepada-Nya. Oleh karena itu, sikap dan ucapan Nabi Ismail terekam dalam ayat ini untuk dijadikan sebuah pelajaran.
@Lulu Rista Azizah – Semester 6