Oleh laitsa Nailul
 
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”
Tafsiran al-ibriz
“Poro kawulane Allah Ta’ala kang asifat Rohman, kang podho mlaku ono ing
bumine Allah sarono anteng lan andhap asor. Lan arikolo dheweke dicelathu
dening wong bodho (dirungoni tembung kang ora becik) dheweke namung
mangsuli: Selamet-selamet (ateges ora ngeladeni tukaran)
Dalam al-Qur’an bagian akhir, terdapat satu konsep tentang “Ibadur
Rahman” atau “hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang”. Benar, memang kita
sekalian, tanpa terkecuali, adalah hamba-hamba Allah dalam arti bahwa kita
sekalian adalah makhluk ciptaan-Nya. Namun, tidak berarti mentang-mentang kita
ciptaan-Nya, dengan sendirinya kita diaku sebagai hamba-Nya, dengan pengertian
bahwa dengan sendirinya kita mendapatkan perlakuan baik dari Allah. Untuk
mendapatkan perlakuan baik, untuk mendapatkan kemuliaan dari Allah, maka
konsep ini dikemukakan.
Dengan demikian, rendah hati adalah unsur pertama, komponen pertama,
untuk menjadikan seseorang menjadi orang yang diakui sebagai betul-betul
hamba Allah yang Rahman. Lalu, apa yang dimaksud dengan rendah hati itu?
Rendah hati sering dianggap sebagai terjemah dari kata Arab ُتواضع . lalu apa itu
tawadhu’? Para ahli mendefinisikan tawadhu’ antara lain dengan rumusan.
“ Tawadhu’ adalah tunduk dan mengikuti kebenaran aal-haq serta menerimanya
dari siapa saja yang menyampaikannya, orang muda ataupun tua, orang besar
maupun sederhana, laki-laki atau bukan karena melihat apa yang disampaikan,
bukan siapa yang menyampaikan.” Jadi, inti tawadhu atau rendah hati adalah
menerima, tunduk, dan mengikuti yang benar, al-Haq, dari siapapun datangnya.
Kalau demikian definisi tawadhu, maka memang kita sekali waktu perlu
melakukan atau bahkan perlu, dengan segala resiko yang kurang menyenangkan,
kita harus melakukam yang benar walau tidak lumrah dan meninggalkan yang
salah walau itu sudah kaprah. Dan, ini satu hal yang tidak tidak ringan, namun
juga memerlukan tekad yang kuat dan tabah menanggung resikonya. Bagaimana
tidak, dalam hampir setiap segi kehidupan yang kita aarungi bersama saat ini,
boro-boro untuk berbuat yang lebih baik, untuk berbuat yang semestinya saja
sulitnya setengah hati.
Bicara sampai disini kami teringat kandungan sebuah hadis bahwa akan
datang saatnya satu zaman dimana berpegangan ajaran agama, berpegang pada
kebenaran, al-Haq, ibaratnya adalah menggenggan bara. Di genggam terus tangan
terbakar, dilepaskan bara mati. Kalau demikian adanya, maka konsekuensi logis
dari berpegang kepada kebenaran atau al-Haq, dengan kata lain akibat yang harus
disandang bagi orang yang ingin rendah hati atau tawadhu atau dengan kata lain
lagi, akibat yang pasti harus disandang oleh siapa saja yang mendambakan
kemuliaan di sisi Allah, adalah, paling tidak, ibarat panas dan sakitnya tangan
terbakar bara yang digenggam. Itu paling tidak.
Repotnya, kemuliaan dari Allah tidak selamanya berwujud kemapanan
hidup di dunia. Sementara kita sekarang masih hidup di dunia, sehingga
kemapanan hidup di dunia sangat kuat pengaruhnya terhadap cara berpikir kitaa.
Bahkan banyak yang mempercayai kemapanan itu adalah segala-galanya.
Sebenarnya, hidup yang mapan adalah sah-sah saja, kalau tidak boleh
disebut dianjurkan. Buktinya, doa yang sangat dianjurkan adalah “Ya Tuhan
kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah
kami dari siksa neraka”. Dan salah satu, saya ulangi, salah satu kebaikan di dunia
itu adalaah hidup mapan di dunia.
Lalu mengapa dipersoalkan?
Masalahnya, diakui atau tidak, hidup mapan atau kemapanan hidup sudah
sedemikian rupa menguasai alam pikiran kita, sehingga dengan meminjam istilah
orang yang suka memakainya, kemapanan hidup itu sudah sampai ke tingkat
dikultuskan. Kalau, mengkultuskan Rasulullah SAW, menurut orang-orang ini,
sudah syirik, maka mengkultuskan kemapanan hidup jauh lebih syirik lagi. Untuk
mengejar kemapanan hidup, orang, asal mampu, mau berkorban apa saja, dari
yang sopan sampai yang tidak senonoh, dari yang masih berperikemanusiaan
sampai yang di luar batas peri kemanusiaan. Sedangkan mereka yang dianggap
mengkultuskan Rasulullah SAW paling abnter sangat gemar membaca shalawat,
termasuk membaca Barzanji dan kalau tiba bulannya, mereka maulidan itu saja.
Dari apa yang telah saya kemukakan, saya ingin menekankan bahwa
pertama, untuk menjadi hamba Allah yang sebenarnya kita harus rendah hati.
Rendah hati adalah berani menerima kebenaran dari manapun atau siapapun
datangnya. Kedua, kita perlu mengkaji ulang, meneliti kembali, pandangan kita
tentaang kemapanan hidup atau hidup mapan. Silahkan ikhtiarkan, namun
kebenaaran jangan ditinggalkan. Dan untuk itu semua, kita harus siap, kita pasti
akan mengalami hal-hal yang tidak enak, perlu kesiapan menghadapinya.
Akhirnya, saking tidak ringannya melaksanakan apa yang saya kemukakan,
marilah kita saling ingat-mengingatkan dan tidak kalah pentingnya adalah selalu
berdoa untuk mendapatkan petunjuk dan pertolongan dari Allah.
Menurut Quraish Shihab bahwa yang dimaksud dengan hamba-hamba ar￾Rahman adalah sahabat-sahabat Nabi Muhammad, bahkan dapat mencakup semua
orang mukmin, kapan dan dimana saja selama mereka menyandang sifat-sifat
yang di uraikan dalam kelompok ayat ini. Penyifatan mereka dengan hamba ar￾Rahman ini disamping menyindir kaum musyrikin yang enggan sujud kepada￾Nya, juga mengisyaratkan bahwa mereka meneladani Allah terutama dalam sifat
agung-Nya.
Adapun buah yang dihasilkan oleh peneladanan sifat ar-Rahman pada
diri seseorang yang menjadikannya memercikkan rahmat dan kasih sayang kepada
hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantarnya mengalihkan mereka dari
jalan kelengahan menuju Allah dengan memberinya nasihat secara lemah lembut,
tidak dengan kekerasan. Dia akan memandang orang-orang berdosa dengan
pandangan kasih sayang bukan dengan gangguan serta menilai setiap kedurhakaan
yang terjadi di alam raya bagaikan kedurhakaan terhadap dirinya, sehingga dia
tidak menyisihkan sedikit upaya pun untuk menghilangkannya sesuai
kemampuannya, sebagai pengejawantahan dari rahmatnya terhadap si durhaka
jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan kejauhan dari sisi-Nya.
Jadi, dalam tafsir al-Misbah ini menjelaskan sifat-sifat hamba Allah.
Yang pertama adalah mereka berjalan diatas bumi dengan lemah lembut, yaitu
cara berjalan mereka tidak angkuh atau kasar. Dalam konteks cara jalan, Nabi
SAW. mengingatkan agar seseorang tidak berjalan dengan angkuh,
membusungkan dada, dan tidak sekadar menggambarkan cara jalan mereka, atau
sikap mereka ketika berjalan tetapi melakukan interaksi dengan pihak lain dalam
bentuk yang sebaik-baiknya dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat. Sifat yang kedua, adalah apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan. Hamba-hamba
ar-Rahman itu bila disapa oleh orang-orang jahil mereka meninggalkan tempat
menuju ke tempat yang lain dimana mereka tidak berinteraksi dengan orang-orang
jahil itu. Karena mereka lakukan untuk menghindari sifat orang-orang jahil
terhadap mereka itu.

Explore More

NEGERI SABA’ DALAM AL-QUR’AN

Sebagian isi dari al-Qur’an adalah kisah, sebab manusia memang makhluk yang suka bercerita dan membangun hidupnya berdasarkan cerita yang dipercayainya. Melalui kisah, pelajaran dapat diambil dari peristiwa dahulu. Hal ini

Menanamkan Sifat Zuhud dalam Surah Al-Ankabut Perspektif al-Ibriz

Apa sih zuhud itu? Mungkin kita sudah banyak paham mengenai makna kata zuhud namun, beberapa orang ada yang belum mengerti apa sih zuhud itu?. Zuhud adalah meninggalkan kehidupan dunia, dan

Sikap Terhadap Anak Yatim Dan Orang Miskin Dalam QS. Al-Ma’un Perspektif Tafsir Al-Ibriz

“Opo siro weruh wong kang nggorohake agomo..?Nggorohake anane hisab lan wewales..?Yen ora weruh yoiku lho, wong kang nolak kanthi kasar marang anak yatim kang njaluk bandhane dhewe, lan ora gelem