Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah dengan usaha perdagangan atau jual beli. Jual beli adalah pemindahan kepemilikan atas suatu barang yang mempunyai nilai dan dapat terukur dengan satuan moneter dan disertai ijab qabul atas dasar saling rela.
Berdasarkan dari penjelasan di atas, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian jual beli baik secara etimologi maupun secara terminologi. Jual beli secara etimologi adalah “Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.”
Sedangkan jual beli menurut beberapa ulama:
a. Menurut Hanafiah jual beli memilki dua arti yaitu arti khusus dan arti umum.
1) Arti khusus yaitu jual beli adalah menukar benda dengan dua mata uang (emas dan
perak) dan semacamnya, atau tukar-menukar barang dengan uang atau semacam menurut
cara yang khusus.
2) Arti umum yaitu jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta menurut cara yang
khusus, harta mencakup zat (barang) atau uang.
b. Menurut Syafi’iah, jual beli adalah suatu aqad yang mengandung tukar menukar harta dengan
harta dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau
manfaat untuk waktu selamanya.
c. Menurut Hasbi As Shidqi, jual beli adalah aqad yang tegas atas dasar pertukaran harta dengan
harta, maka jadilah harta penukaran milik secara tetap.
Dari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa jual beli adalah pemindahan kepemilikan atas suatu barang yang mempunyai nilai dan dapat terukur dengan satuan moneter. Ukuran nilai tersebut menjadi dasar atas penentuan harga barang dan kebijakan pengambilan keuntungan. Karenanya perlu tawar menawar sebagai bentuk pemenuhan hak milik saat transaksi terjadi. Salah satu etika atau moral yang tidak boleh dilupakan adalah meskipun seorang muslim telah meraih keuntungan yang lebih dari perdagangan atau transaksi tersebut, ia tidak boleh lupa kepada tuhannya. Dia tidak boleh lupa untuk menegakkan syariat agama, terutama salat yang merupakan hubungan abadi antara manusia dan Tuhannya.
Dalam artikel ini akan menganalisis tentang larangan jual beli ketika salat Jumat dalam tafsir Al Ibriz karya Bishri Musthafa.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, “Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan,” dan Allah pemberi rezeki yang terbaik.”
Tafsir ayat:
- “He wong-wong kang pada iman, arikala salat wes diundangake ana dina jumat, sira kabeh pada berangkata tumuju marang dzikir Allah (iya iku salat), lan sira kabeh pada ninggalno adol tuku, berangkat jumatan lan ninggal ake ketungkul ngurus dunya kang mangkono iku bagus tumrap sira kabeh. Yen sira kabeh pada ngerti (yen megkono iku bagus, ayo padaha tumindak jumatan ninggal ake ngurus dunya).”
- “Mongko arikala salat jumat wes dirampung ake, sira kabeh kepareng pada bubar ana ing bumine Allah maneh, lan kepareng pada nupreh rizki sangking kanugrahane Allah ta’ala, sira kabeh pada dzikir marang Allah ta’ala sarana dzikir kang akeh (ara naming kala salat sarasan nanging uga sak jabane salat dianjurake dzikir marang Allah ta’ala) supaya sira kabeh pada kabekjan.”
- “Lan arikala manungsa pada weruh ana dagangan teko, utowo krungu tabuhan, manungso mau nuli pada bubar tumuju ing dagangan, lan manungsa pada ninggalake sira pinuju sira ngadek (khutbah). Sira dawuh Muhammad! Ganjaran kang ana ing ngarsane Allah ta’a la iku luwih bagus katimbang tabuhan lan katimbang dagangan, Allah ta’ala iku luwih bagus-baguse kang pada pareng rizki.”
Diterangkan di dalam tafsir Al Ibriz bahwa asbabun nuzul diturunkannya ayat ini adalah pada suatu Jum’at, ketika di tengah-tengah khutbah Nabi Muhammad, tiba-tiba datang pedagang dari Syam yang datang dengan sangat ramai, mereka ada yang bertepuk tangan, ada juga yang
memainkan gendang. Pada saat itu semua barang mahal. Orang-orang yang mendengarkan khutbah Nabi tersebut mendengar ada keramaian dan melihat ada pedagang yang datang. Ketika itu juga orang-orang berlari menuju pasar. Karena orang-orang tersebut khawatir tidak mendapatkan bagian. Dan hanya tersisa beberapa orang yang masih setia mendengarkan khutbah Nabi. Ada yang meriwayatkan dua belas, empat puluh, delapan, sebelas, tiga belas, dan ada yang menyebutkan empat belas. Dari sinilah muncul perselisihan pada bab ‘adadul Jum’ah. Karena kejadian ini maka turunlah ayat 11 ini.
Di dalam tafsir Al Ibriz ini juga memberi peringatan kepada kita bahwa Allah adalah “Khairur Raziqin” yang berarti Allah itu yang memberikan rizki, tidak peduli orang itu taat atau tidak kepada Allah, baik itu orang kafir, orang musyrik, Allah akan tetap memberikan rizki. Berbeda dengan manusia, seumpama ada seorang bapak yang anaknya menurut dengan
perintahnya, maka akan dikabulkan keinginannya. Namun apabila anak itu tidak patuh, maka bapak tersebut tidak akan memberikan nafkah kepada anak tersebut.
Penjelasan lain mengenai ayat ini menurut tafsir Al Ibriz, yang dimaksud dengan kata “Nida’ul Jum’ah” yaitu adzan yang sesudah khatib duduk di atas mimbar. Ketika zaman Nabi Sayidina Abu Bakar, dan Sayidina Umar. Salat Jumat itu adzannya Cuma satu kali, ketika imam sudah di atas mimbar, muadzin mengumandangkan adzan di depan pintu masjid. Imam
kemudian khutbah, setelah itu imam turun dari mimbar langsung di iqamati dan dilanjut salat Jumah. Ketika pada zaman sahabat Usman manusia semakin banyak dan rumahnya yang semakin jauh-jauh, maka ketika zaman sahabat Usman ini, beliau menambahkan adzan satu kali
lagi, sehingga menjadi dua kali. Adzan yang pertama untuk mengumpulkan orang agar segera pergi ke masjid, ketika orang-orang sudah berkumpul imam naik ke atas mimbar, dilanjut adzan
yang ke dua. Ketika itu tidak ada sahabat yang memprotes, karena Nabi Muhammad sudah bersabda: ‘alaikum bi sunnati wa sunnat al khulafa ar rasyidin min ba’di. Jadi apabila ada salat jum’at yang adzannya dua itu sudah ijma’ para khalifah. Jadi apabila ada yang mengatakan kalau
dalam salat jumat adzannya ada dua itu bid’ah, maka itu tidak benar.
Meskipun Nabi tidak mengerjakan adzan dua kali, namun adzan dua kali itu sudah dilaksanakan oleh sahabat Usman yang merupakan salah satu dari khulafaur rasyidin. Dalam surat Jumuah ayat 9-11 ini mengandung perintah untuk segera melaksankan salat Jumat dan meninggalkan jual beli. Semua ulama sepakat bahwa ayat ini menunjukkan status wajibnya salat Jumat. Yang sering menjadi ikhtilaf para ulama adalah mengenai pendapat tentang hukum akad transaksi jual beli pada saat adzan. Terkait dengan ini ada dua pendapat ulama, pendapat yang pertama memandang bahwa akad tersebut tidak sah dan wajib dibatalkan. Pendapat ini disampaikan oleh kalangan madzhab Maliki dan madzab Hanbali. Pendapat kedua disampaikan oleh ulama dari kalangan madzab Hanafi dan madzhab Syafi’i. kedua madzhab ini menyatakan akad jual belinya sah namun berdosa. Status berdosa ini bersifat muqayyad (terbatas), yaitu secara khusus berlaku pada golongan ahli jum’ah.
@Nur Widad Rahmawati – Semester 6