Oleh Fahrul Munir

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu lah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkan lah mereka, mohon kanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarat lah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”.(Q.S Ali ‘Imran: 159)

Kata musyawarah dalam kitab tafsirnya, Dr. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa musyawarah terambil dari akar kata (شور) syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil/dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Kata musyawarah, pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar di atas.

Madu bukan saja manis, tetapi ia adalah obat bagi banyak penyakit,sekaligus menjadi sumber kesehatan dan kekuatan. Itulah yang dicari dimana pun dan siapa pun yang menemukannya.Madu dihasilkan oleh lebah .Jika demikian, yang bermusyawarah bagaikan lebah, makhluk yang sangat disiplin, kerjasamanya mengagumkan, makanannya sari kembang, hasilnya madu, di mana pun ia hinggap tidak pernah merusak, tidak mengganggu kecuali diganggu.Tidak heran jika Nabi saw.menyamakan seorang mukmin dengan lebah.

Ahmad Mushthafa menjelaskan dalam tafsirnya Al-Maraghi, bahwa ayat ini menjelaskan sikap Rasulullah SAW terhadap para sahabatnya dalam mengambil keputusan.Menurut beliau,  banyak di antara para sahabat Nabi orang-orang yang berhak mendapatkan celaan dan perlakuan keras menurut karakter umum manusia. Hal ini menurutmu fassir karena mereka parasahabat Nabi telah melakukan kesalahan dalam melaksanakan strategi perang dengan mengabaikan perintah yang sudah disepakati sebelumnya.

Kesalahan para sahabat ini tidak mengurangi penghargaan Rasulullah kepada para sahabat dalam mendengarkan dan berdiskusi dalam berbagai permasalahan bersama.Nabi selalau berpegang kepada musyawarah selama hidupnya dalam menghadapi semua persoalan.Beliau selalu bermusyawarah dengan mayoritas kaum muslimin.

Al-Maraghi membandingkan musyawarah bersama banyak orang dengan shalat berjamaah dengan banyak orang juga.Tafsir Al-Maraghi juga menggunakan hadis dan riwayat-riwayat lain dalam menafsirkan ayat 159 surat Ali Imran ini. Misalnya, Beliau mengutip sebuah hadis dari Abu Hurairah dalam Tafsirnya yang berarti “Tidak satu kaum pun yang melakukan musyawarah melainkan akan ditunjukkan jalan yang paling benar dalam persoalan mereka”.

Dalam tafsir al-Azhar,Buya Hamka memulai menafsirkan ayat  159 surat Ali-Imran ini dengan menggunakan kata pujian untuk menjelaskan sikap Rasulullah dalam memimpin.   Menurut beliau, Rasulullah sebagai pemimpin umat Islam sangat menunjukkan bahwa sikap lemah lembut dalam memimpin membuat beliau bisa menuntun dan membina umat Islam dengan baik.

Serta sikap bermusyawarah dengan umat di sekelilingnya dalam menghadapi persoalan besama. Pemimpin seperti ini, menurut beliau, juga tidak akan berhasil dalam memimpin. Namun demikian, Buya Hamka juga menggaris bawahi bahwa sikap lemah lembut seperti yang dianjurkan oleh ayat ini bukan berarti bersikap tidak tegas.Beliau menekankan pandangannya ini.

Menurut Sayyid Quthb, dalam kitabnya Fi Dzilal Al-Qur’an bahwa musyawarah merupakan dalil yang qath’ie yang tidak boleh ditinggalkan oleh orang-orang muslim dan tidak diragukan. Karena syura merupakan dasar yang asasi dalam undang-undang hukum Islam yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Dan tidak ada hukum Islam yang asasi selain dari musyawarah.Namun bentuk dan cara-cara musyawarah diserahkan kepada manusia, karena kemajuan dan perkembangan zaman yang selalu mengalami perubahan.

Kesehatan dalam Islam adalah perkara yang penting, ia merupakan nikmat besar yang harus disyukuri oleh setiap hamba. Terkait pentingnya kesehatan Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda:

نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس الصحة والفراغ

Artinya: “Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang”.(HR. al-Bukhari, at-Tirmidzi).

Allah SWT. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)….” (QS. An-Nisaayat 59)

Oleh karena itu walaupun Pilkada tetap berlangsung penting bagi kita untuk menjaga kesehatan dengan cara mematuhi protocol kesehatan yang sudah dianjurkan oleh pemerintah dengan dasar firman Allah Q.S an-Nisa’ ayat 59: ”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.Semoga kegiatan demokrasi ini bisa berjalan lancar dan kita tetap dalam perlindungan Allah amiiin.

Explore More

KISAH SINGKAT NABI YUSUF DALAM TAFSIR AL IBRIZ

Penafsiran Surah Yusuf ayat 33– 34 “Tamu-tamu wadon podo ngendiko” sampun tenurut mawon sampean dateng bendahara sampean “ Nabi Yusuf nuli dawuh” duh pangeran bui langkung ndalem remene ketimbang nuruti

KONSEP AN-NAUM DALAM AL-QURAN PERSPEKTIF TAFSIR AL-IBRIZ

Mengenal Naum Naum (tidur) secara etimologi dalam lisan arab berarti ngantuk (nu’as). Tidur apabila seseorang telah berabring disebut ruqud. Sedangkan secara terminology tidur dapat diartikan suatu kondisi seseorang yang tidak

Sabar Tanpa Batas (Perspektif tafsir al-Ibriiz)

Sering kita dengar bahwa sabar itu memiliki batas, atau bahkan kita pun memiliki prinsip demikian, yakni sabar ada batasnya. Perlu kita ketahui bahwa sabar dan menyerah hampir memiliki respon diri