Laili Nur Hidayah
Nama lengkapnya adalah KH. Muhammad Sholeh bin Umar Al-Samarani atau lebih dikenal denngan Mbah Sholeh Darat. Namun, sebenarnya terdapat beberapa ejaan untuk nama beliau, sebagian peneliti menuliskan Salih, Shalil, dan Saleh.[1] Adapun nama belakang “Al-Samarani” atau “darat” merupakan nama kota atau kampung tempat tinggalnya dulu, yaitu daerah di pantai utara Semarang, tempat mendarat orang-orang dari luar Jawa yang bernama kampung Darat, yang saat ini masih dilestarikan dan dijadikan prasasti.[2]Sekarang ini kampung Darat termasuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara. Sementara itu, Beliau dilahirkan di desa Kedung Cemplung Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara Jawa Tengah pada tahun 1820 M/1235 H.[3]
Mbah Sholeh Darat dibesarkan dalam keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan di bawah asuhan kedua orangtuanya.[4] Ayahnya bernama kiai Umar yang merupakan pejuang kemerdekaan dan orang kepercayaan pangeran Diponegoro dalam perang melawan Belanda di Wilayah Pesisir Utara Jawa. Sejak kecil beliau sudah belajar ilmu-ilmu dasar agama khususnya Ilmu Al-Quran mulai dari bacaan hingga ilmu tajwid dilingkungan keluarga maupun pesantran.[5] Mbah Sholeh Darat memperoleh ilmu dan pengetahuan agama pertama dari ayahnya. Beliau belajar dengan metode pengembaraan intelektual, dari satu guru ke guru yang lain dari Jawa hingga Makkah, sehingga dapat membentuk pribadi serta jiwanya dengan nilai-nilai agama di masa mudanya. Pertama kali ke Makkah beliau bersama ayahnya dengan tujuan melaksanakan ibadah haji dan singgah beberapa saat di Singapura.[6]
Selang beberapa tahun kemudian ayahnya wafat di Makkah dan beliau memutuskan untuk menetap dan belajar di sana hingga beliau juga dipercaya untuk menjadi pengajar di Makkah. Di sanalah beliau menjadi guru para calon ulama besar Nusantara, antara lain Kiai Dalhar Watucongol Muntilan Magelang, Kiai Dimyati Termas Pacitan, Kiai Dahlan Termas Pacitan, Kiai M. Kholil Harun Kasingan Rembang dan Kiai M Raden Asnawi Kudus.[7] Dari sini beliau bertemu dengan Mbah Hadi Girikusumo,[8] melihat ketinggian dan kehebatan Mbah Sholeh Darat, Mbah Hadi Girikusumo berencana ingin mengajaknya pulang ke tanah air untuk mengembangkan Islam dan mengajar masyarakat Islam di Jawa yang masih awam, tetapi hal ini memiliki sedikit rintangan dan hambatan. Karena kiai Sholeh Darat sudah diminta oleh penguasa Mekah untuk menetap dan mengajar di Mekkah. Kemudian Mbah Hadi nekat untuk menculik Kiai Sholeh Darat diajak pulang, agar tidak terdeteksi saat mau naik kapal Mbah Sholeh Darat dimasukkan ke dalam peti bersama barang bawaan Mbah Hadi. Namun, di tengah perjalanan syekh Mekah merapat dan menangkap Mbah Hadi karena ketahuan menculik Mbah Sholeh Darat. Mbah Hadi akhirnya berhasil bebas dengan menebus sejumlah uang yang juga dibantu oleh murid-muridnya yang berada di Singapura, sehingga mereka berhasil melanjutkan perjalanan dan mendarat di Jawa.[9]Adapun waktu Kepulangannya, diperkirakan tahun 1870 atau 1880.[10]
Selama masa hidupnya KH. Muhammad Sholeh Darat menikah sebanyak tiga kali. Pertama, ketika beliau masih berada di Mekkah. Namun, tidak diketahui secara pasti nama istrinya, dari pernikahan ini dikaruniai seorang anak yang bernama Ibrahim. Nama inilah yang kemudian beliau digunakan sebagai nama Kunyah (Abu Ibrahim) dalam sampul kitab tafsirnya Faid Ar-Rahman.Tatkala Mbah Sholeh Darat pulang ke Indonesia istrinya yang pertama sudah meninggal dan putranya Ibrahim tidak menyusul ke Indonesia. Kedua, beliau menikah dengan Sofiyah, putri dari Kiai Murtadha ketika Mbah Sholeh Darat berada di Semarang, dari pernikahan kedua ini beliau dikaruniai dua orang putra yaitu Yahya dan Khalil. Ketiga, istrinya bernama Raden Ayu Aminah, puteri Bupati Bulus, Purworejo yang merupakan seorang Syarifah (Keturunan Nabi Muhammad SAW.) dari pernikahan ini, mereka berdua dikaruniai seorang putri bernama R.A Siti Zahroh. Setelah dewasa putrinya dijodohkan dengan Kiai Dahlan, santri KH. Sholeh Darat dari Termas.[11]
Kyai Sholeh Darat wafat di Semarang pada hari “Jum‟at Wage” tanggal 28 Ramadan 1321 H/ 18 Desember 1903 dan dimakamkan di pemakaman umum “Bergota” Semarang. dalam usia 83 tahun. Makamnya banyak diziarahi orang, baik dari Semarang dan sekitarnya maupun dari daerah lain, khususnya pada upacara haulnya. Setiap tanggal 10 Syawal di makamnya diadakan upacara haul (peringatan wafatnya pada setiap tahun). Haul ini tidak dilaksanakan tepat pada hari atau tanggal wafatnya dengan pertimbangan mengambil waktu yang sudah longgar dan tidak merepotkan peziarah karena menghadapi hari raya „Idul al-Fitri, sehingga diadakan setiap tanggal tersebut. Haul dihadiri ribuan orang yang pada umumnya memiliki hubungan intelektual dengan Muhammad Sholeh.[12]