Tulisan ini akan sedikit memaparkan biografi serta perjalanan KH. Bisri Musthofa dalam mengawasi Al-Quran yang bernuansakan pondok. Dan juga sedikit memaparkan contoh contoh surah al-Asr 1-3 dari kitab tafsir Al-Ibriz. Berikut penjelasannya : 

KH. Bisri Mustofa lahir di Kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah tahun 1923 Masehi atau 1344 Hijriyah. Mbah Bisri adalah putra dari pasangan suami istri, ayah H. Zaenal Mustofa dan ibu Chodijah. H. Zaenal Mustofa adalah anak dari Podjojo atau H. Yahya. Nama ayah Mbah Bisri sebelum naik Haji ialah Djaja Ratiban. Beliau bukan seorang ulama atau kyai, beliau adalah seorang pedagang yang kaya raya. Namun beliau sangat menaruh hati pada ulama atau kyai.

Sedang Chodijah adalah anak dari pasangan suami istri E. Zajjadi dan Aminah. Chodijah mempunyai darah keturunan orang makassar dari ayahnya, ayahnya adalah anak dari pasangan E. Sjamsuddin dan Datuk Djijah. Sebelum menikah dengan dengan H. Zaenal Mustofa, Chodijah pernah menikah dengan Dakilah dan Dalimin. Dan akhirnya menikah dengan H. Zaenal Mustofa dan dikaruniai empat orang anak. Mashadi adalah nama yang diberikan oleh pasangan H. Zaenal Mustofa dan Chodijah.  Salamah (Aminah), Misbach, dan Ma’shum adalah saudara dari Mashadi. Nama Mashadi berganti menjadi Bisri Mustofa setelah kepulangannya dari Haji pada tahun 1932.

 Pada tahun tersebut, tidak hanya Mashadi yang berangkat Haji, namun semua keluarga diajak oleh H. Zaenal Mustofa, untuk memenuhi panggilan di tanah suci Makkah al-Mukarromah. Waktu itu, Mashadi masih berumur (8 tahun), Salamah (5 ½ tahun), Misbach (3 ½ tahun), dan Ma’shum (1 tahun). Namun karena kehendak Tuhan tidak ada yang tahu, saat berada di tanah suci, ayah Mashadi sakit keras dan akhirnya meninggal disana.

Sejak kecil Mashadi atau lebih akrab dikenal Mbah Bisri, telah memperlihatkan kecerdasan yang sangat luar biasa. Di masa kecilnya, Mbah Bisri dibimbing oleh kedua orang tuanya mengenai dasar-dasar pendidikan Islam. Setelah ayahnya wafat Mbah Bisri mengembara untuk mencari ilmu dari pesantren satu ke pesantren lain. Sebelum mengenal pesantren, pasca sepeninggal ayahnya, tanggung jawab keluarga Mbah Bisri, berganti kepada kakak tirinya yaitu, H. Zuhdi. 

Pada saat itu, di Rembang terdapat beberapa sekolah. Pertama, Europese School 15, kedua, Hollands Inlandse School (HIS), ketiga, Sekolah Ongko 2. Mulanya, Mbah Bisri hendak didaftarkan H. Zuhdi di Hollands Inlandse School. Namun, karena di datangi KH. Cholil Kasingan, kemudian Mbah Bisri tidak jadi sekolah di HIS dengan alasan sekolah tersebut adalah milik Belanda. Akhirnya, Mbah Bisri menempuh sekolahnya di Sekolah Ongko 2 kurang lebih selama tiga tahun.

Pada tahun 1925, Mbah Bisri diminta untuk mengaji di pesantren milik KH. Chasbullah dan diantar oleh H. Zuhdi pada waktu puasa Ramadhan. Namun selang beberapa hari kembali lantaran tidak betah ngaji disana. Sekitar tahun 1930 kemudian Mbah Bisri diperintahkan untuk kembali mondok di Kasingan, tempat KH. Cholil. Di tenggang waktu kurang lebih empat tahun, Mbah Bisri banyak menghabiskan waktu bermain bersama teman sejawatnya di kampung. Alasan lain karena: pertma, kemauan belajar di pesantren tidak ada; kedua, Mbah Bisri menganggap KH. Cholil adalah sosok yang galak dan tegas; ketiga, teman sepondoknya kurang menanggapi dia; keempat, karena Mbah Bisri Ingin kerja. Sesampainya di Kasingan Mbah Bisri tidak langsung diajar oleh KH. Cholil, namun di pasrahkan ke iparnya, yaitu Suja’i.

Ketika dengan Suja’i, Mbah Bisri hanya diajari Alfiyah Ibnu Malik, jadi setiap hari-hari hanya mengaji kitab tersebut. Kira-kira sekitar dua tahun Mbah Bisri ngaji kitab itu. Setelah mengaji dengan tekun selama hampir tiga tahun di pesantrennya KH. Cholil, Mbah Bisri menjadi tempat rujukan utama teman-temannya ketika mendapatkan sebuah kesulitan dalam belajar.

Setelah K. Dimyati wafat, santri-santri yang ada di pondok Tremas banyak yang pindah ke Kasingan. Tidak jarang Mbah Bisri diminta untuk mengajukan suatu kitab bahkan kitab yang belum pernah beliau ketahui. Untuk mensiasati hal tersebut, kemudian menggunakan prinsip belajar candak kulak (belajar sambil mengajar). Bersama beliau lakukan dengan K. Kamil dan K. Fadholi. Awalnya K. Kamil tidak mau untuk mengajikan kepada Mbah Bisri, karena dianggap mampu dan sudah bisa. Kemudian ditengahi oleh K. Fadholi dan akhirnya pembelajaran dengan musyawarah dilakukan ketiga ulama atau kyai tersebut.

Karena merasa masih kurang, Mbah Bisri bersikeras untuk keluar dari Rembang untuk belajar lagi. Sebelumnya pada bulan Ramadhan Mbah Bisri pernah nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang di bawah asuha KH. Hasyim Asyari. Karena rasa ingin tahu yang sangat besar, kemudian Mbah Bisri berangkat ke Makkah. Di sana Mbah Bisri berguru kepada Syaikh Chamdan al-Magribi, Syekh Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Hasan Masysyath, Sayyid Alwi, dan KH. Abdul Muhaimin. Setelah setahun di sana, kemudian Mbah Bisri kembali ke Rembang karena mendapat surat dari KH. Cholil.

Sepulangnya ke Rembang, Mbah Bsri diajak KH. Cholil pergi ke Tuban Jawa Timur. Tujuan daripadanya adalah hendak menikahkan Mbah Bisri dengan putri dari KH. Murtadho Makam Agung Tuban. Setelah mendapat kabar tersebut, Mbah Bisri hendak menolak perjodohan tersebut. Akan tetapi, karena tidak dapat kesempatan sampailah KH. Cholil dan Mbah Bisri di rumah KH. Murtadho. Sesampainya disana, KH. Cholil dan KH. Murtadho musyawarah untuk mencari tanggal pernikahan Mbah Bisri dan putri KH. Murtadho.

Disana, Mbah Bisri tidak bisa apa-apa, tanggal disepakati dan KH. Murtadho hendak berkunjung balik ke Rembang. pada 7 bulan Syawal tahun 1934 M adalah tanggalnya. Namun karena Mbah Bisri masih menolak perjodohan tersebut, akhirnya pada tanggal 3 Syawal, Mbah Bisri kabur dari Rembang tanpa ada siapapun yang tahu, beliau pergi bersama saudara Mabrur. Keduanya merantau ke Demak, Sayung, Semarang, Kaliwungu, dan Kendal. Setelah pergi kira-kira satu bulan, Mbah Bisri pulang dan menghadap ke KH. Cholil untuk meminta maaf atas perbuatannya tersebut. Namun KH. Cholil diam tanpa kata hingga kira-kira satu tahun Mbah Bisri dikucilkannya.

Mbah Bisri pulang ke rumah Ibunya, dirumah ia diberi kabar bahwa KH. Cholil ingin menikahkan Mbah Bisri dengan putrinya Ma’rufah. Awalnya Mbah Bisri mengalami kebingungan, namun karena Ibu dan Saudaranya setuju, akhirnya Mbah Bisri yakin dan menikah dengan Ma’rufah pada 17 Rajab 1354 Hijriyah. Pada waktu itu Mbah Bisri berusia 20 tahun dan Ma’rufah berusia 10 tahun. Karena sekarang menjadi menantu daripada KH. Cholil, maka Mbah Bisri secara otomatis ikut dalam mengasuh pondok pesantren milik mertuanya. Namun selang beberapa tahun kemudian Mbah Bisri mendapat kabar duka, bahwa guru serta mertuanya KH. Cholil dipanggil oleh Allah swt

Seusai KH. Cholil wafat, pesantren milik almarhum, di kelola oleh Mbah Bisri. Namun pasca-pendudukan Jepang, pesantren milik KH. Cholil bubar. Kemudian daripada itu, untuk meneruskan tongkat perjuangan KH. Cholil, Mbah Bisri mendirikan pesantren di Leteh Rembang, kemudian diberi nama Raudhatut Thalibin

Dalam perjalanannya Mbah Bisri di karuniai delapan anak: pertama, Cholil (lahir tahun 1941 M); kedua, Mustofa (lahir tahun 1943 M): ketiga, Adieb (lahir tahun 1950 M); keempat, Faridah (lahir tahun 1952 M); kelima, Najichah (lahir tahun 1955); keenam, Labib (lahir tahun 1956); ketujuh, Nihayah (lahir tahun 1958); dan yang paling ragil, Atikah (lahir tahun 1964). Disamping itu, dalam perjalanan Mbah Bisri, ia menikah lagi dengan perempuan asal Tegal bernama Umi Atiyah, tanpa sepengetahuan Ma’rufah dan keluarganya. Dari pernikahan tersebut Mbah Bisri dan Umi Atiyah dikaruniai seorang anak bernama Maimun.

Adapun karya-karya KH Bisri Musthofa itu sangat banyak. Akan tetapi dalam artikel ini, penulis hanya menjelaskan corak penafsiran KH.Bisri Musthofa. Sebuah karya Tafsir tentu memiliki sistematika tersendiri dalam menuliskannya. Perbedaan tersebut dipengarui oleh kecederungan, keahlian, minat, dan sudut pandang dari seorang mufasir. Hal lain yang membuat sebuah karya Tafsir berbeda adalah dari faktor latar belakang pengetahuan dan pengalaman serta tujuan yang ingin dicapai oleh seorang mufasir. Maksud dari sistematika penafsiran al-Qur’an disini adalah aturan penyusunan atau tata cara dalam menafsirkan al-Qur’an. Biasanya, identik dengan teknik penyusunan atau penulisan sebuah tafsir. Jadi sistematika penafsiran lebih menekankan prosedur penafsiran yang dilalui atau menekankan pada urutan-urutan al-Qur’an. 

Sistematika penulisan dalam kitab tafsir yang banyak dikenal ada tiga. Pertama, sistematika mushafi, yaitu yang berpedoman pada susunan ayat dan surat dalam mushaf. Kedua, sistematika nuzuli atau zamani, yaitu yang didasarkan pada kronologis turunnya suatu surat-Sebuah karya Tafsir tentu memiliki sistematika tersendiri dalam menuliskannya. Perbedaan tersebut dipengarui oleh kecederungan, keahlian, minat, dan sudut pandang dari seorang mufasir. Hal lain yang membuat sebuah karya Tafsir berbeda adalah dari faktor latar belakang pengetahuan dan pengalaman serta tujuan yang ingin dicapai oleh seorang mufasir. Maksud dari sistematika penafsiran al-Qur’an disini adalah aturan penyusunan atau tata cara dalam menafsirkan al-Qur’an. Biasanya, identik dengan teknik penyusunan atau penulisan sebuah tafsir. Jadi sistematika penafsiran lebih menekankan prosedur penafsiran yang dilalui atau menekankan pada urutan-urutan alQur’an. Sistematika penulisan dalam kitab tafsir yang banyak dikenal ada tiga. Pertama, sistematika mushafi, yaitu yang berpedoman pada susunan ayat dan surat dalam mushaf. Kedua, sistematika nuzuli atau zamani, yaitu yang didasarkan pada kronologis turunnya suatu surat-surat dan ketiga, sistematika maudhu’i, yaitu yang didasarkan pada tema-tema tertentu. Dalam kajian ini, sistematika yang digunakan dalam Tafsir al-Ibriz adalah sistematika mushafi yang digunakan umumnya oleh para mufassir. Hal ini dapat dijumpai dalam muqaddimah tafsirnya yang secara tegas dan jelas memaparkan sistematika penulisan tafsirnya yaitu: 

Bentuk utawi wangun ipun dipun atur kados ing ngandhap iki:

  1. Dipun serat ing tengah mawi makna gandul 
  2. Tarjamah Ipun tafsir kaserat ing pinggir kanthi tandha nomor, nomor ipun ayat dhumawah ing akhiri pun. Nomor tarjamah ing awal ipun.
  3. Katerangan-katerangan sanes mawi tandha tanbihun, faidatun, muhimmah, qissah lan sak panunggalipun. 

Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, pertama-tama KH. Bisri Mustofa menulis redaksi ayat secara sempurna, kemudian diterjemahkan kata-per-kata ke dalam bahasa Jawa dengan tulisan huruf Arab pegon atau huruf Arab bahasa Jawa secara miring bersusun ke bawah lengkap dengan rujukan (dhomir) nya, bentuk seperti ini lebih dikenal dengan tulisan bermakna gandul. Pemakaian sistematika seperti inilah yang umumnya banyak digunakan di kalangan pondok pesantren tradisional di Indonesia. Selanjutnya pada bagian bawah kolom atau kanan kiri diberikan keterangan dan penjelasan secara luas dan kadang-kadang juga diberikan contoh kisah yang ada kaitannya dengan pokok pembahasan serta persoalan-persoalan yang ada dikalangan muslim pada saat itu serta mencantumkan kesimpulan meskipun tidak seluruhnya. Untuk meyakinkan kepada pembaca KH Bisri Mustofa memberi tanda dengan kata tanbihun, muhimmahtun, faidahtun, qissatun, dan lain sebagainya serta keterangan gambar yang terdapat dalam surat Yasin. Nomor ayat ditulis pada akhir, sedang nomor terjemah ditulis pada awal syarah yang disertai dengan keterangan dan penjelasan ayat.

Jika kita mencermati format sistematika tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa sistematika yang digunakan KH. Bisri Mustofa sangat khas dengan nuansa yang bercorak kepesantrenan. Dalam hal ini, KH Bisri Mustofa telah berhasil merampungkan penafsiran seluruh ayat dan surat dalam al-Qur’an, dibanding mufassir yang lain seperti al-Mahally (281-864 H) dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (1282- 1354 H) yang tidak sempat merampungkan tafsirnya sesuai dengan sistematika tartib mushafi. Jadi dapat disimpulkan bahwa KH. Bisri Mustofa ketika menulis kitab tafsir al-Ibriz menggunakan sistematika tartib mushafi (berdasarkan urutan mushaf).

Di sini penulis sedikit memberikan contoh penafsiran dari kitab Al-Ibriz surah al- Ashr 1-3, berikut penjelasannya :

Banyak di era sekarang orang-orang yang tidak menghargai waktu dengan baik. Contoh bermain game sampai lupa melakukan kewajibannya. Lantas bagaimana pesan-pesan Mbah Bisri musthofa dalam menghargai waktu ?

Dalam QS. Al-Asr ayat 1-3 Firman Allah SWT yang mengatakan bahwa manusia dalam kerugian kecuali orang-orang yang mampu melakukan amal shaleh dan menepati kesabaran.

وَٱلۡعَصۡرِ ١  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣ 

            Iku surat Makkiyah ayate namaung telu “Demi mongso, utowo demi waktu sore, temenan menuso iku podho kapitunan kejobo wong-wong podho iman lan amal sholih, kang ora podho kapitunan, mulo siro kabeh podhoho weling-welingan netepi iman, lan siro kabeh podhoho welingan-welingan sabar ngelakoni taat lan sabar ngadohi maksiat. (Tafsir al-Ibriiz, QS. al-Ashr: 1-3) 

Dalam karaya tafsir Al-Ibriz Li Turjuman  Ma’rifati Tafsir Al-Quran Al-Aziz merupakan tafsir berbahasa jawa bermakna gandul atau istilah pesantren disebut dengan makna pegon. Sebagaiman kajian yang telah ada sebelumnya, kajian tafsir ini mengacu pada khazanah tafsir aksara melayu jawi yang bercirikan khas pondok pesantren. Disebabkan karena adanya pengaruh sang penafsir dari lingkungan, sosial budaya masyarakat pesantren yang mengitarinya. 

Langkah-langkah penafsiran KH.Bisri Musthofa bisa dikatakan sangatlah sederhana sehingga memudahkan pelajar untuk memahami pesan-pesan kandungan Al-Quran. Untuk menyelesaikan tugas Tafsir nusantara yang berbau penafsir nusantara, saya mengkaji surat Al-Ashr ayat 1-3 tentang bagaimana setiap manusia mampu menjalankan waktu dan amal dalam keseiringan waktu dan tempat.

Dalam penafsiran QS.Al-Ashr 1-3 masih menggunakan metode ijmali dan bahkan masih menggunakan terjemahan secara tekstual dari Bahasa Arab ke Bahasa Jawa. Dalam surat ini berisi sumpah Allah pada adanya kepastian bahwa manusia akan mengalami kerugian atas apa yang ia perbuat. Kecuali bagi orang-orang yang beriman yang menyakini setiap risalah yang dibawakan oleh Rasulullah SAW, serta manusia yang senantiasa selalu melakukan amal-amal shaleh sebagai cerminan iman, saling mengingatkan antara seorang muslim satu dengan yang lainnya lagi yang beraromakan kebaikan, dan menujukkan nilai-nilai Islam yang berbentuk sebuah kesabaran, karena sabar merupakan salah satu bentuk untuk mencapai sesuatu yang lebih baik lagi dari apa yang sebelumnya.

Manusia tidak dapat melepaskan diri waktu dan tempat dimana pun itu berada, karena mereka mengenal masa kini, sekarang, dan masa depan. Kesadaran manusia akan waktu tidak terlepas dari peredaran matahari, bulan, tahun, hari dari segi perjalannya atau dari pagi yang dipergunakan untuk berlomba-lomba mencari kesibukan berniatkan kepada Allah SWT sedangkan malam dipergunakan untuk beristirahat dari waktu malam yang begitu singkat.

Memanfaatkan waktu merupakan salah satu amanat perintah Allah yang sangat dianjurkan oleh setiap manusia. Bahkan, manusia dituntut untuk mengisi setiap waktu dengan amal-amal shaleh, karena manusia didalam muka bumi ini sudah diperintahkan untuk beramal shaleh. Agama melarang mempergunakan waktu untuk hal-hal yang bermain-main atau mengabaikan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi diri setiap manusia.

  Waktu dan amal tidak dapat dipisahkan, Keduanya saling bertalian satu sama lain. Waktu adalah untuk beramal dan amal untuk mengisi waktu. Amal akan berguna bila dilaksanakan sesuai dengan waktunya, Sebaliknya waktu akan berguna jika diisi dengan amal. Pada saat ini dilihat dari sebuah realita bahwa masih banyak diantara orang-orang yang mengkambing hitamkan waktu atau menyalahi waktu ketika mengalami sebuah kegagalan dalam mendapatkan sesuatu. Islam tidak mengajarkan setiap hambanya untuk mengenal waktu sial maupun waktu untung. Sial dan untung sangat ditentukan oleh baik tidaknya usaha seseorang, karena waktu memiliki sifat netral dan tidak berpihak kepada siapapun itu.

Namun, manusia seringkali tidak mensyukuri waktu yang telah diberikan padanya, masih banyak menyia-nyiakan waktu tersebut dengan menggunakan hal-hal yang tidak bermanfaat. Berikut ini beberapa cara untuk mengatur atau memanajemen waktu, agar setiap manusia mampu menjalankan hidupnya sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT :1.Hilangkan kebiasaan menunda-nunda untuk melakukan hal yang baik 2.Mendahulukan yang wajib daripada sunnah 3.Selesaikan pekerjaan tepat waktu 4.Buat batasan waktu 5.Meninggalkan aktivitas yang tidak bermanfaat 6.Membuat jadwal kegiatan dengan sistematis 7.Kurang bersantai-santai seperti mainan Handphone 8.Jangan terjebak dalam masa lalu 9.Belajar fokus pada sesuatu untuk meraih impian 10.Niatkan berubah untuk menjadi lebih baik karena Allah SWT.

Manusia sebagai insan al-kamil merupakan salah satu makhluk Allah SWT yang sangat istimewa di antara lainnya, sebab manusia dikarunia akal-pikiran untuk digunakan hal-hal yang baik untuk dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Dan bagaimana waktu dapat mengantarkan pada diri seseorang melakukan sesuatu hal-hal yang bersifat positif. Mereka yang seperti ini memiliki karakteristik yakni orang-orang yang mampu meneguhkan keyakinan terhadap Allah SWT dan segala ketentuannya, orang-orang yang selalu membiasakan dirinya untuk melakukan kebaikan, dan orang-orang yang selalu berwasiat pada kebenaran dan kesabaran.

Dari sini pemaparan penulis dalam menjelaskan biografi KH. Bisri Musthofa sebagai penafsir kitab tafsir Al-Ibriz yang dapat disampaikan. Semoga apa yang dipaparkan dalam tulisan ini mampu bermanfaat bagi pembaca. Dan apabila dalam penulisan ini, ada kesalahan dalam penulisan mohon pembenarannya. Sekian dan terimakasih Wallahu’alam.

@Septy Khoirunnisak – Semester 6

Explore More

Bulan – Bulan Kemuliaan (Hijriyyah)

عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَهۡرُا فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ مِنۡهَآ أَرۡبَعَةٌ حُرُمۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُۚ فَلَا تَظۡلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمۡۚ وَقَٰتِلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ كَآفَّةٗ كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمۡ كَآفَّةٗۚ

AYAT-AYAT PERCERAIAN DALAM SURAT ATH-THALAQ (Perspektif Tafsir Al-Ibriiz)

Fase dalam kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia terutama seorang muslim yaitu menemukan pasangan hidup dengan melakukan pernikahan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadist nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim

Larangan Jual Beli Ketika Sholat Jum’at Dalam Kajian Tafsir al-Ibriiz

Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah dengan usaha perdagangan atau jual beli. Jual beli adalah pemindahan kepemilikan atas suatu barang yang mempunyai nilai dan dapat terukur dengan satuan