“Poro kawulane Allah Ta’ala kang asifat Rohman, kang podho mlaku ono ing  bumine Allah sarono anteng lan andhap asor. Lan arikolo dheweke dicelathu  dening wong bodho (dirungoni tembung kang ora becik) dheweke namung  mangsuli: Selamet-selamet (ateges ora ngeladeni tukaran) . (Tafsir al Ibriz, Qs. al-Furqan: 63) 

Islam adalah agama yang menuntun penganutnya untuk menjadi sosok  hamba yang mulia baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Dan Allah telah  menjelaskan dalam surah al furqan akan konsep terkait sifat ‘ibadurrahman  sebagai kategori hamba Allah yang mulia. Dan kita harus bisa untuk mengatur diri  kita, dalam mengatur hal-hal yang positif serta dalam upaya untuk menjadi hamba  yang mulia di hadapan Allah SWT. Dan tentunya seorang ‘ibadurrahman tentu  bisa dapat membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. 

Dalam al-Qur’an bagian akhir, terdapat satu konsep tentang “Ibadurrahman” atau “hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang”. Benar, memang kita  sekalian, tanpa terkecuali, adalah hamba-hamba Allah dalam arti bahwa kita  sekalian adalah makhluk ciptaan-Nya. Namun, tidak berarti mentang-mentang kita  ciptaan-Nya, dengan sendirinya kita diakui sebagai hamba-Nya, dengan pengertian  bahwa dengan sendirinya kita mendapatkan perlakuan baik dari Allah. Untuk  mendapatkan perlakuan baik, untuk mendapatkan kemuliaan dari Allah, maka  konsep ini dikemukakan.  

Dengan demikian, rendah hati adalah unsur pertama, komponen pertama,  untuk menjadikan seseorang menjadi orang yang diakui sebagai betul-betul  hamba Allah yang Rahman. Lalu, apa yang dimaksud dengan rendah hati itu?  Rendah hati sering dianggap sebagai terjemah dari kata Arab تواضع . lalu apa itu  tawadhu’? Para ahli mendefinisikan tawadhu’ antara lain dengan rumusan “Tawadhu’ adalah tunduk dan mengikuti kebenaran al-haq serta menerimanya dari siapa saja yang menyampaikannya, orang muda ataupun tua,  orang besar maupun sederhana, laki-laki atau bukan karena melihat apa yang  disampaikan, bukan siapa yang menyampaikan.” Jadi, inti tawadhu atau rendah  hati adalah menerima, tunduk, dan mengikuti yang benar, al-Haq, dari siapapun  datangnya.

Kalau demikian definisi tawadhu, maka memang kita sekali waktu perlu  melakukan atau bahkan perlu, dengan segala resiko yang kurang menyenangkan,  kita harus melakukan yang benar walau tidak lumrah dan meninggalkan yang  salah walau itu sudah kaprah. Dan, ini satu hal yang tidak tidak ringan, namun  juga memerlukan tekad yang kuat dan tabah menanggung resikonya. Bagaimana  tidak, dalam hampir setiap segi kehidupan yang kita arungi bersama saat ini,  boro-boro untuk berbuat yang lebih baik, untuk berbuat yang semestinya saja  sulitnya setengah hati. 

Bicara sampai disini kami teringat kandungan sebuah hadis bahwa akan  datang saatnya satu zaman dimana berpegangan ajaran agama, berpegang pada  kebenaran, al-Haq, ibaratnya adalah menggenggam bara. Di genggam terus tangan  terbakar, dilepaskan bara mati. Kalau demikian adanya, maka konsekuensi logis  dari berpegang kepada kebenaran atau al-Haq, dengan kata lain akibat yang harus  disandang bagi orang yang ingin rendah hati atau tawadhu atau dengan kata lain  lagi, akibat yang pasti harus disandang oleh siapa saja yang mendambakan  kemuliaan di sisi Allah, adalah, paling tidak, ibarat panas dan sakitnya tangan  terbakar bara yang digenggam. Itu paling tidak. 

Selain rendah hati, hamba ‘ibadurrahman juga gemar mendirikan qiyamul  lail yang dipaparkan dalam surah al furqan ayat 64, “Dan orang-orang yang  melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk mereka”. Maka dari itu  seorang hamba ‘ibadurrahman juga rajin untuk melakukan taqarrub kepada Allah

SWT. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dengan mendirikan shalat malam  kita dapat meningkatkan kualitas keimanan kepada Allah SWT. Karena pada  malam- malam tersebut terdapat beberapa keistimewaan dan keutamaan terutama  10 terakhir di bulan suci ramadhan. Jadi ketika seseorang mengerjakan ibadah di  malam-malam tersebut, maka pahala yang akan didapatkan akan berlipat ganda.  Apabila ditambah lagi dengan memperbanyak doa dan dzikir dan memohon  ampun kepada Allah secara tidak langsung akan dikabulkan seperti yang telah  dijanjikan Allah kepada hamba-hamba-Nya.  

Repotnya, kemuliaan dari Allah tidak selamanya berwujud kemapanan  hidup di dunia. Sementara kita sekarang masih hidup di dunia, sehingga  kemapanan hidup di dunia sangat kuat pengaruhnya terhadap cara berpikir kita.  Bahkan banyak yang mempercayai kemapanan itu adalah segala-galanya. 

Sebenarnya, hidup yang mapan adalah sah-sah saja, kalau tidak boleh  disebut dianjurkan. Buktinya, doa yang sangat dianjurkan adalah “Ya Tuhan  kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah  kami dari siksa neraka”. Dan salah satu, saya ulangi, salah satu kebaikan di dunia  itu adalah hidup mapan di dunia.  

Lalu mengapa dipersoalkan? 

Masalahnya, diakui atau tidak, hidup mapan atau kemapanan hidup sudah  sedemikian rupa menguasai alam pikiran kita, sehingga dengan meminjam istilah  orang yang suka memakainya, kemapanan hidup itu sudah sampai ke tingkat  dikultuskan. Kalau, mengkultuskan Rasulullah SAW, menurut orang-orang ini,  sudah syirik, maka mengkultuskan kemapanan hidup jauh lebih syirik lagi. Untuk  mengejar kemapanan hidup, orang, asal mampu, mau berkorban apa saja, dari  yang sopan sampai yang tidak senonoh, dari yang masih berperikemanusiaan  sampai yang di luar batas peri kemanusiaan. Sedangkan mereka yang dianggap  mengkultuskan Rasulullah SAW paling banter sangat gemar membaca shalawat,  termasuk membaca Barzanji dan kalau tiba bulannya, mereka maulidan itu saja.

Dari apa yang telah saya kemukakan, saya ingin menekankan bahwa  pertama, untuk menjadi hamba Allah yang sebenarnya kita harus rendah hati.  Rendah hati adalah berani menerima kebenaran dari manapun atau siapapun  datangnya serta dengan kita menambah qiyamul lail itu juga lebih baik, Karena  mendirikan shalat qiyamul lail merupakan sifat hamba Allah yang selalu  melaksanakan ibadah shalat malam hari dalam rangka untuk mendekatkan diri  kita kepada Allah dan senantiasa memanjatkan doa kepada Allah SWT agar  mendapatkan keridhoan-Nya. Kedua, kita perlu mengkaji ulang, meneliti kembali,  pandangan kita tentang kemapanan hidup atau hidup mapan. Silahkan ikhtiarkan,  namun kebenaran jangan ditinggalkan. Dan untuk itu semua, kita harus siap, kita  pasti akan mengalami hal-hal yang tidak enak, perlu kesiapan menghadapinya.  Akhirnya, saking tidak ringannya melaksanakan apa yang saya kemukakan,  marilah kita saling ingat-mengingatkan dan tidak kalah pentingnya adalah selalu  berdoa untuk mendapatkan petunjuk dan pertolongan dari Allah.

@Laitsa Nailul – Semester 6

Explore More

Berlebihan dalam Beragama (Ghuluw)

Oleh Siti Lailatul Fitria Melakukan segala sesuatu dengan berlebihan tentu bukanlah suatu perbuatan baik. Dalam Islam disyari’atkan kepada umatnya untuk menjalankan suatu hal dengan seimbang, menengakkan sesuatu dengan takaran yang

Qur’an Surat Muhammad ayat 1-3

Oleh Nita Khoiriyah Surat Muhammad: iku ayate telung puluh wolu, kabeh ayat-ayate Madaniyah kejobo ayat nomer telulas kang temurun ono ing tengah-tengah dalan wektu kanjeng Nabi Muhammad hijrah menyang Madinah.

Keutamaan Menyayangi Anak Yatim

Islam selalu mengajarkan kita untuk senantiasa berbuat kebaikan kepada siapa pun baik sesama muslim maupun non-muslim, muda atau tua dan yang kaya atau miskin termasuk kepada anak yatim dan piatu.