Sebagian isi dari al-Qur’an adalah kisah, sebab manusia memang makhluk yang suka bercerita dan membangun hidupnya berdasarkan cerita yang dipercayainya. Melalui kisah, pelajaran dapat diambil dari peristiwa dahulu. Hal ini sejalan dengan firman Allah, dalam QS. Yusuf [12]:111.

لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۗ مَا كَانَ حَدِيْثًا يُّفْتَرٰى وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang memiliki akal. Al-Qur’an itu dibuat-buat, tetapi dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi Kaum yang beriman .

Imam Al-Syaukani juga menyebutkan dari Imam Abdurrahman bin Zaid tentang Negeri Saba’: Sungguh merupakan tanda kekuasan Allah pada Kaum Saba’ berupa anugerah yang Allah berikan kepada mereka di tempat kediaman mereka, mereka tidak pernah melihat adanya hewan-hewan yang berbahaya seperti nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, ular dan hewan (pengganggu) lainnya. Dan bila ada iringan kafilah yang hendak melintas di perkampungan mereka dengan mengenakan pakaian yang dihinggapi oleh kutu-kutu, maka kutu-kutu itupun mati tatkala mereka melihat rumah penduduk Negeri Saba’.

Kemakmuran Negeri Saba’ ditunjang dengan adanya sumber daya alam yang tersedia serta sumber daya manusia yang memadai kedua unsur tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Saba. Mereka memulai peradaban mereka dengan membangun bendungan besar yang dikenal dengan bendungan Ma’rib di kota Yaman.

Adanya aneka nikmat yang diberikan kepada suatu bangsa mestinya membawa bangsa tersebut kepada ketaatan, namun kenikmatan yang banyak justru kadang membuat terlena dan lupa diri. Hal inilah yang terjadi pada penduduk Negeri Saba’ mereka lalai dalam menjaga fasilitas umum yang menjamin keberlanjutan kehidupan masyarakat, mereka enggan untuk bersyukur dengan bekerja lebih baik dalam melakukan pengawasan dan pemeliharaan terhadap bendungan yang terbengkalai sehingga akhirnya bendungan tersebut roboh dan mengakibatkan banjir besar.

Kisah Negeri Saba’ yang diabadikan dalam al-Qur’an mempunyai relevansi dengan kehidupan masa sekarang dalam hal kemajuan peradaban dunia, dimana negeri-negeri di penjuru dunia berlomba-lomba memamerkan kekayaan negaranya masing-masing tanpa memperhatikan aspek spiritual sebagai kebutuhan dasar manusia. Kisah tentang Negeri Saba’ tidak menutup kemungkinan terulang kembali jika manusia kembali lalai dan tidak mensyukuri kenikmatan yang diberikan oleh Allah swt.

Letak geografis

Pemaknaan tentang Saba’ menurut Muhammad bin Ishak, sebagai seorang ulama dibidang ilmu nasab dan sejarah sebagaimana dikutif M Quraish Shihab dalam Ensiklopedia al-Qur’an, bahwa nama Saba’ sebenarnya, adalah Abdusy Syams bin Yasyjab bin Ya’rub bin Qahtan. Menurut Ibnu Ishak, dia hartawan dan suka berderma, karena itu dinamai dengan ar-raisy orang yang menghimpun harta dan dengan hartanya dialah yang pertama kali menyembelih kambing di dalam peperangan lalu membagi-bagikannya kepada serdadunya. Adapun penamaannya dengan Saba’ sebagaimana arti harfiyahnya yaitu pergi (terpisah), karena dialah orang Arab yang pertama kali pergi mengasingkan diri sehingga daerah yang disinggahi untuk hidup di situ dinisbahkan kepada namanya, Negeri Saba’.

Awalnya kerajaan Saba’ dikenal dengan dinasti Muinah sedangkan raja-raja mereka dijuluki sebagai Mukrib Saba’. Ibu kotanya S}arwah, yang puing-puingnya terletak 50 km ke arah barat laut dari kota Ma’rib. Pada periode inilah bendungan Ma’rib mulai dibangun. Periode ini antara tahun 1300 SM hingga 620 SM. Pada periode berikutnya, antara tahun 620 SM – 115 SM, barulah mereka dikenal dengan nama Saba’. Mereka menjadikan Ma’rib sebagai ibu kotanya.

Pada masa Kaum Saba’ secara garis besar wilayah Jazirah Arab dibagi menjadi dua bagian, bagian Utara dan bagian Selatan. Arab bagian Selatan lebih maju dibandingkan Arab bagian Utara. Masyarakat Arab bagian Selatan adalah masyarakat yang dinamis dan memiliki peradaban, mereka telah mengenal kontak dengan dunia internasional karena pelabuhan mereka terbuka bagi pedagang-pedagang asing yang hendak berniaga ke sana. Sementara orang-orang Arab Utara adalah mereka yang terbiasa dengan kerasnya kehidupan padang pasir, mereka kaku dan lugu karena kurangnya kontak dengan dunia luar. Tentu saja letak geografis kerajaan Saba’ sangat mempengaruhi bagi kemajuan peradaban mereka.

Keberadaan Negeri Saba’ secara geografis menjadi perdebatan dikalangan para peneliti akhir-akhir ini setelah muncul buku Indonesia Negeri Saba’ karya Fahmi Basya yang mengklaim bahwa Indonesia adalah Negeri Saba’. Sedangkan yang tercatat dalam sejarah sebelumnya dinyatakan bahwa Negeri Saba’ berada di Yaman sebagai peninggalan Nabi Sulaiman. Kedua pendapat ini sama-sama memiliki bukti nyata tapi dari sudut pandang berbeda, Fahmi Basya mengambil bukti dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan berdasarkan ilmu matematika, dari penafsiran ini melahirkan kesimpulan bahwa Borobudur adalah istana Nabi Sulaiman. Sedangkan yang tercatat dalam sejarah sebelumnya menggunakan pendekatan ilmu arkeolog, hal ini kemudian dibuktikan dengan penemuan arkeologi berupa reruntuhan bendungan Ma’rib di kota Yaman.

Surah saba’

Surah Saba’ adalah Surah yang ketiga puluh empat di dalam mushaf dan terdiri atas 54 ayat, termasuk golongan Surah makkiyah. Pokok-pokok isinya dalam soal keimanan mencakup ilmu Allah meliputi segala yang ada di langit dan di bumi; kebenaran adanya hari berbangkit dan hari pembalasan; Nabi Muhammad saw. adalah pemberi peringatan; pada hari kiamat berhala-berhala itu tidak dapat memberi mamfaat sedikit pun; kalau seseorang sesat, maka akibat kesesatannya itu menimpa dirinya sendiri, dan kalau ia menemui jalan yang benar adalah berkat petunjuk Allah. Surah ini juga memuat kisah-kisah antara lain kisah Nabi Daud as., kisah Nabi Sulaiman., dan kisah Kaum Saba’.

Pelajaran yang dapat diambil dari ayat-ayat yang membahas tentang Saba’ diantaranya: 

  1. Negeri Saba’ dilukiskan dengan baldah thayyibah wa Rabb Ghafur. kata thayyibah berarti baik dan menyenangkan. Negeri yang baik antara lain adalah yang aman dan sentosa, melimpah rezekinya, yang dapat diperoleh secara mudah oleh penduduknya serta terjalin pula hubungan harmonis, kesatuan dan persatuan antar anggota masyarakatnya. 
  2. Semua masyarakat tidak dapat luput dari dosa dan kedurhakaan, seandainya tidak demikian, maka tidaklah ada arti penyebutan kalimat Rabb Ghafur/Tuhan Maha Pengampun dalam redaksi ayat ini. Namun demikian jika mereka berlanjut dalam kedurhakaan. Allah menjatuhkan sanksi kepada mereka.
  3. Kemudahan transportasi dan kedekatan antar kota/wilayah merupakan salah satu nikmat Allah swt. dan penunjang kesejahteraan, karena hal itu memperlancar perpindahan manusia dan barang-barang dagangan. 
  4. Kunjungan orang asing/wisatawan ke satu kota merupakan nikmat bagi penduduk kota yang dikunjungi karena akan memicu pertumbuhan ekonomi dan gerak pasar, tidak sebaliknya sebagaimana dugaan penduduk Saba’ ketika itu. 
  5. Masyarakat yang tidak membangun atau gagal memelihara hasil pembangunannya, dan tidak mensyukurinya, akan runtuh dan warganya akan terpaksa mencari wilayah lain guna menyambung hidupnya

Dari uraian diatas dapat diketahui tentang pentingnya mengambil hikmah dari kisah-kisah yang disampaikan dalam al-Qur’an sebagai pedoman di masa yang akan datang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa lampau, seperti yang terdapat pada Surah Saba’ ini. Dari Surah ini juga diketahui bahwa ujian bukan hanya dalam bentuk kesusahan tapi juga kesenangan, Negeri Saba’ yang dulunya berlimpah ruah dengan kesenangan, bahkan disebut sebagai Negeri yang ideal namun itu semua melalaikannya dari rasa syukur kepada Allah swt. dan akhirnya dihancurkan.

لَقَدْ كَانَ لِسَبَاٍ فِيْ مَسْكَنِهِمْ اٰيَةٌ ۚجَنَّتٰنِ عَنْ يَّمِيْنٍ وَّشِمَالٍ ەۗ كُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهٗ ۗبَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ فَاَعْرَضُوْا فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنٰهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ اُكُلٍ خَمْطٍ وَّاَثْلٍ وَّشَيْءٍ مِّنْ سِدْرٍ قَلِيْلٍ ذٰلِكَ جَزَيْنٰهُمْ بِمَا كَفَرُوْاۗ وَهَلْ نُجٰزِيْٓ اِلَّا الْكَفُوْرَ

Terjemahnya: 

Sesungguhnya bagi Kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah Negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun. tetapi mereka berpaling, Maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon as\l dan sedikit dari pohon sidr. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.

Berdasarkan uraian di atas yang terdiri dari beberapa penjelasan penggalan kalimat, dapat dipahami bahwa Saba’ bisa’ diartikan sebagai nama seseorang yang terpisah pada suatu wilayah sehingga tempat tersebut dinamai dengan Negeri Saba’, tempat tersebut kemudian dianugerahi dengan sumber daya alam yang melimpah karena dikelola oleh sumber daya manusia yang memadai sehingga menghasilkan perkebunan yang mencukupi kebutuhan masyarakat Saba’ bahkan lebih. Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok tersebut, Allah menyuruh mereka untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah diberi dan senantiasa memohon ampun atas dosa yang dilakukan sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan.

Namun, mereka tidak melakukannya. Mereka memilih untuk mengklaim kemakmuran itu sebagai milik mereka. Mereka menganggap Negeri itu adalah milik mereka sendiri, bahwa merekalah yang menjadikan semua keadaan yang luar biasa tersebut ada. Mereka memilih untuk menjadi sombong bukannya bersyukur, dan dalam ungkapan ayat tersebut, mereka berpaling dari Allah karena mereka mengaku bahwa semua kekayaan adalah milik mereka, maka mereka pun kehilangan semua yang mereka miliki. Di dalam al-Qur’an, azab yang dikirimkan kepada Kaum Saba’ dinamakan Sailul-Arim yang berarti banjir besar. Kata Arim berarti bendungan atau rintangan. sehingga ungkapan Sailul-Arim menggambarkan banjir yang datang dengan runtuhnya bendungan ini.

Setelah banjir, kehidupan mereka pun menjadi sulit mengingat untuk bercocok tanam mereka hanya dapat mengandalkan air hujan dan tumbuhan yang tumbuh di sekitar mereka tidak memberi manfaat, mengenai jenis pepohonan yang tumbuh tersebut terdapat beberapa pendapat. Ada yang mengatakan pohon cemara, pohon bidara, dan pohon berduri serta buah maja yang pahit rasanya, terlepas dari perbedaan tersebut penulis cenderung memahaminya bahwa tumbuhan yang dimaksud adalah tumbuhan yang tidak dapat dikonsumsi dan tidak memiliki nilai jual yang dapat menunjang perekonomian masyarakat Saba’.

Adapun pemaknaan balasan yang menggunakan pola mufa’alah mengisyaratkan bahwa siksa tersebut adalah akibat yang sepadan dengan dosa yang mereka lakukan, sedangkan orang-orang mukmin yang mendapat balasan baik dari Allah tidak menggunakan pola tersebut, karena imbalan yang mereka terima tidak sepadan dengan amal baik mereka. Imbalan yang mereka terima jauh lebih baik dari amal mereka.

Keberhasilan Negeri Saba’

  1. Dua kebun

Negeri Saba’ dianugerahi dengan sumber daya alam yang melimpah melalui tanahnya yang subur sehingga mampu menumbuhkan berbagai macam tumbuhan dan tanaman. Oleh al-Marag{i mengatakan bahwa kisah tentang Negeri Saba’ menggambarkan sebuah kerajaan di Yaman yang memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah dalam bentuk pertanian dan perkebunan serta perairan yang sempurna. Tempat ini juga memiliki bendungan yang dapat memenuhi kebutuhan baik dalam bidang pertanian, maupun dalam dalam bentuk keperluan lain-lainnya. 

Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa pemanfaatan sumber daya alam berupa tanah yang lapang, dikelola melalui pembuatan infrastruktur berupa bendungan untuk mengairi lahan tersebut akan menghasilkan lahan pertanian dan perkebunan yang dapat menunjang perekonomian pada Negeri Saba’. Masyarakat Saba’ sadar akan pentingnya ketersediaan air sebagai sumber utama kehidupan sehingga pada awal peradaban mereka yang paling pertama dibangun adalah bendungan Ma’rib.

2. Baldah tayyibah

Keberhasilan Negeri Saba’ sebagai baldah thayyibah (Negeri ideal) karena kondisi wilayahnya yang baik, aman dan sentosa sebagaimana arti dari kata tayyibah. Baldah thayyibah wa Rabb Ghafur adalah sebuah Negeri yang nyaman udaranya, banyak kebajikan dan berkatnya, sedang yang mencurahkan nikmat itu atas mereka adalah Tuhan yang maha pengampun yang menutupi dosa dan menerima tobat. Hal ini juga memberi isyarat bahwa suatu masyarakat tidak dapat luput dari dosa dan kedurhakaan. Seandainya tidak demikian maka tidak ada arti penyebutan kalimat Rabb Ghafur. Dalam membentuk sebuah Negeri yang aman dan sentosa tidak terlepas dari sistem pemerintahan yang baik (good governance) serta adanya pemimpin yang dapat menjalankan sistem tersebut dengan baik.

Kehancuran Negeri Saba

  1. Banjir besar

Wujud kehancuran Negeri Saba’ dapat dilihat pada ayat selanjutnya dalam QS Saba’/34 :16. Kata العرم berarti sesuatu yang dibangun untuk menampung air, yakni bendungan. Dengan demikian sailul-‘arim adalah banjir yang disebabkan oleh robohnya bendungan itu. Memang ketika itu mereka membuat banyak bendungan untuk menampung curah hujan, yang kemudian di musim kering bendungan itu mengairi lahan pertanian mereka. Apapun makna kata tersebut yang jelas adalah banjir yang besar melanda Negeri Saba’ sehingga mengakibatkan musnahnya pertanian dan berpencarnya suku yang besar itu ke berbagai negeri. 

Kisah tentang Negeri Saba’ dalam al-Qur’an memiliki kelengkapan data sejarah diantaranya temuan arkeologis dan fakta sejarah berdasarkan penemuan Werner keller yang membenarkan apa yang dicatat dalam al-Quran. Sebagaimana disebutkan pada ayat tersebut, Kaum ini, yang tidak mendengarkan peringatan dari Nabi mereka dan tanpa rasa syukur telah menolak keimanan, akhirnya dihukum dengan banjir yang mengerikan.

Setelah bencana banjir Arim, daerah tersebut mulai berubah menjadi padang pasir dan Kaum Saba’ kehilangan sumber pendapatan mereka yang terpenting dengan hilangnya lahan pertanian mereka. Kaum tersebut, yang tidak mengindahkan seruan Allah untuk beriman dan bersyukur kepada-Nya, akhirnya diazab dengan sebuah bencana seperti ini. Setelah kehancuran besar yang disebabkan oleh banjir, Kaum tersebut mulai terpecah belah. Kaum Saba’ mulai meninggalkan rumah-rumah mereka dan berpindah ke Arab Selatan, Makkah, dan Syria.

2. Tanaman tergantikan

Negeri Saba’ yang dahulunya dipenuhi dengan berbagai jenis tanaman dan tumbuhan yang memiliki nilai jual yang tinggi kini tergantikan dengan berbagai tumbuhan yang sama sekali tidak memiliki nilai manfaat, hal ini tergambar dalam QS Saba’/34: 16

Kedua kebun mereka yang menjadi sumber penghidupan, kekayaan dan kekuatan mereka digantikan oleh Allah dengan kebun yang jelek, yang tidak bermanfaat untuk kehidupan mereka. Firman Allah : “(pohon-pohon) yang berbuah pahit” yaitu pohon siwak  dan buahnya yang pahit (dalam bahasa arab disebut barir). Ini adalah pendapat jumhur mufassirin, seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Ata’, Qatadah, Al-Hasan, As-Suddi, yang dimaksud pohon asl adalah pohon tamarisk. Ia sejenis pohon cemara sedangkan pohon sidr adalah pohon bidara (Indian pulm / Ziziphus mauritiana).

Dengan keadaan seperti itu, Kaum Saba’ tidak bisa bertahan, sehingga hancurlah kerajaan mereka. Kehancuran ini diperkirakan terjadi pada tahun 550 M. Mereka terpaksa harus mencari tempat tinggal yang baru. Mereka pun berhijrah ke berbagai tempat. Enam kabilah dari Kaum Saba’ berpencar di Yaman dan empat kabilah lainnya berpencar di Syam. Ini semua adalah akibat ulah mereka sendiri.

@ Muhammad Nur Ulil Albab – IAT Semester 6

Explore More

KONSEP GENDER DALAM TAFSIR AL IBRIZ

Sekilas Biografi KH. Bisri Mustofa KH. Bisri Mustofa lahir pada tahun 1915 M. di kampung Sawahan Gang Palen, Rembang, Jawa Tengah. KH. Bisri Mustofa merupakan putra dari pasangan H. Zainal

Keutamaan Menyayangi Anak Yatim

Islam selalu mengajarkan kita untuk senantiasa berbuat kebaikan kepada siapa pun baik sesama muslim maupun non-muslim, muda atau tua dan yang kaya atau miskin termasuk kepada anak yatim dan piatu.

KEADILAN DALAM POLIGAMI PERSPEKTIF TAFSIR AL-IBRIIZ

Adil dan keadilan itu menjadi keinginan setiap hati yang bersih dan dirindukan oleh segenap jiwa yang sadar. Hal ini dapat dimaklumi karena dengan keadilan yang merata, keamanan dan perdamaian dalam