Sudah sejak lama keilmuan atau pengetahuan mendampingi manusia dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Bahkan dalam sebuah syarat sebagai negara maju adalah memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang menguasai IPTEK. Hal ini sudah dapat membuktikan betapa pentingnya ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia, baik itu kehidupan bernegara, sosial budaya, beragama dan ranah kehidupan akademisi.
Menurut umum tentang pentingnya ilmu khususnya dalam agama islam itu sendiri adalah cara untuk membuktikan kekuasaan Allah. Setiap manusia itu sendiri pada dasarnya juga diwajibkan menuntut ilmu, karena Al-Qur’an merupakan kumpulan keilmuan yang mengandung aspek ilmu masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dan untuk mengkaji Al Qur’an dibutuhkan sebuah penafsiran yang mana harus didukung oleh berbagai cabang keilmuan.
Menurut pendapat Imam Syafi’I “Barang siapa menghendaki kebaikan dunia, maka hendaknya ia menggunakan ilmu, dan barang siapa menghendaki kebaikan akhirat hendaknya dengan Ilmu”. Adapun Ali bin Abi Thalib yang menurut beberapa riwayat digadang-gadang sebagai pintu ilmu Rasulullah. Berpendapat bahwa “Ilmu itu lebih utama daripada harta karena ilmu itu menjagamu, sedangkan kamu menjaga harta. Ilmu adalah hakim, sedangkan harta adalah yang dihakimi. Harta menjadi berkurang jika dibelanjakan, sedangkan ilmu akan berkembang apabila diajarkan kepada orang lain”. Dari kedua pendapat baik itu imam Syafi’I maupun Ali bin Abi Thalib sama-sama mengisyaratkan betapa pentingnya ilmu, dalam lingkup kehidupan manusia baik itu di dunia maupun di akhirat.
Quraish Shihab juga berpendapat tentang ilmu adalah cahaya yang ditampakkan oleh Tuhan kepada manusia-manusia yang jernih hatinya, melalui wahyu, firasat, dan intuisi. Hati yang jernih diraih dengan percaya kepada Allah SWT, berprasangka baik pada Allah SWT, menjaga hubungan mesra dengan sesama manusia, selalu berpikir positif, tidak dengki, culas, dan sombong.
Dari sekian banyak pendapat ulama tentang penting nya ilmu, maka penulis mencoba untuk memaparkan pandangan dari KH. Bisri Mustofa dalam Tafsir Al Ibriz.
Biografi KH. Bisri Mustofa
KH. Bisri Musthofa, orang mengenalnya dengan Mbah Bisri Rembang, bukan Mbah Bisri Syansuri Jombang atau pendiri NU. KH. Bisri Musthofa tinggal di Pondok Raudlatul-Thalibin Leteh Rembang kota. Nama KH. Bisri tidak bisa dilupakan oleh generasi enam puluhan. Serpihan-serpihan cerita yang masih lekat mengatakan bahwa KH. Bisri Musthofa terkenal sebagai singa podium. Pada pemilu tahun 1977, kedahsyatan orasinya dapat menguras air mata massa dan sekejap kemudian membuka mulut mereka untuk terpingkal-pingkal bersama di depan panggung tempat ia menyampaikan pidato kampanye.
KH. Bisri Mustofa Lahir pada tahun 1915 M atau bertepatan tahun 1334 di kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah, ia adalah anak dari pasangan suami istri Zainal Mustafa dan Khatijah yang telah memberinya nama Mashadi. Mashadi adalah anak pertama dari empat bersaudara, yaitu Mashadi, Salamah (Aminah), Bisri dan Khatijah. Zainal Mustofa merupakan seorang pedagang kaya dan bukan seorang kiai. Akan tetapi ia sangat mencintai kiai dan alim ulama.
KH. Bisri Musthofa lahir dalam lingkungan pesantren, karena memang ayahnya seorang kiai. Sejak umur tujuh tahun, ia belajar di sekolah Jawa “Angka Loro” di Rembang. Di sekolah ini, Bisri tidak sampai selesai, karena ketika hampir naik kelas dua ia terpaksa meninggalkan sekolah, tepatnya diajak oleh orangtuanya menunaikan ibadah haji di Mekah. Rupanya, inilah masa di mana beliau harus merasakan kesedihan mendalam karena dalam perjalanan pulang di pelabuhan Jedah, ayahnya yang tercinta wafat setelah sebelumnya menderita sakit di sepanjang pelaksanaan ibadah haji.
Sepulang dari tanah suci, Bisri sekolah di Holland Indische School (HIS) di Rembang. Tak lama kemudian ia dipaksa keluar oleh Kiai Cholil dengan alasan sekolah tersebut milik Belanda dan kembali lagi ke sekolah “Angka Loro” sampai mendapatkan sertifikat dengan masa pendidikan empat tahun. Pada usia 10 tahun (tepatnya pada tahun 1925), Bisri melanjutkan pendidikannya ke pesantren Kajen, Rembang. Pada tahun 1930, Bisri belajar di pesantren Kasingan (tetangga desa Pesawahan) pimpinan Kyai Cholil.
Di usianya yang kedua puluh, Bisri dinikahkan Kyai Cholil dengan seorang gadis berusia 10 tahun bernama Ma‟rufah, yang tidak lain adalah putrinya sendiri. Belakangan diketahui, inilah alasan Kiai Cholil tidak memberikan izin kepada Bisri untuk melanjutkan studi ke pesantren Termas yang waktu itu diasuh Kiai Dimyati. Setahun setelah menikah, Bisri berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama- sama dengan beberapa anggota keluarga dari Rembang. Namun, seusai haji, Bisri tidak pulang ke tanah air, melainkan memilih bermukim di Mekah dengan tujuan menuntut ilmu di sana.
Di Mekah, pendidikan yang dijalani Bisri bersifat non-formal. Ia belajar dari satu guru ke guru lain secara langsung dan privat. Di antara guru-gurunya terdapat ulama-ulama asal Indonesia yang telah lama mukim di Mekah. Secara keseluruhan, guru-gurunya di Mekah adalah: (1) Sheikh Baqir, asal Yogyakarta. Kepadanya, Bisri belajar kitab Lubb al Usul Umdat al-Abrar, Tafsir al-Kashshaf; (2) Syeikh Umar Hamdan alMaghribi. Kepadanya, Bisri belajar kitab hadis Sahih Bukhari dan Shahih Muslim; (3) Syeikh Ali Maliki, Kepadanya, Bisri belajar kitab al-Asybah wa al-Nadhair dan al-Aqwal al-Sunan al-Sittah; (4) Sayyid Amin, Kepadanya, Bisri belajar kitab Ibn Aqil; (5) Sheikh Hassan Massat, Kepadanya, Bisri belajar kitab Minhaj Dzaw al-Nadar; (6) Kepada beliau, Bisri belajar tafsir al-Qur’an al-Jalalain; (7) KH. Abdullah Muhaimin. Kepada beliau, Bisri belajar kitab Jamal-Jawâmi, Dua tahun lebih Bisri menuntut ilmu di Mekah. Bisri pulang ke Kasingan tepatnya pada tahun 1938 atas permintaan mertuanya. Setahun kemudian, mertuanya (Kyai Cholil) meninggal dunia. Sejak itulah Bisri menggantikan posisi guru dan mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren.
KH. Bisri hidup dalam tiga zaman, yaitu zaman penjajahan, zaman pemerintahan Soekarno dan masa Orde Baru. Pada zaman penjajahan, ia duduk sebagai ketua Nahdlatul Ulama dan ketua Hizbullah Cabang Rembang. Kemudian, setelah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, ia diangkat menjadi ketua Masyumi Cabang Rembang, sedang ketua Masyumi pusat waktu itu adalah KH. Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo. Masa-masa menjelang kemerdekaan, KH. Bisri mendapat tugas dari PETA (Pembela Tanah Air). Ia juga pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama dan ketua Pengadilan Agama Rembang. Menjelang kampanye Pemilu 1955, jabatan tersebut ditinggalkan, dan mulai aktif di partai NU. Dalam hal ini KH. Bisri menyatakan “tenaga saya hanya untuk partai NU dan di samping itu menulis buku”.
Tafsir Al Ibriz
Tafsir al-Ibrîz yang mempunyai judul lengkap Al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz merupakan salah satu karya KH. Bisyri Mustafa yang cukup dikenal di kalangan para muslim jawa, khususnya di lingkungan pesantren.
Tafsir ini menggunakan bahasa Jawa sebagai bentuk penafsirannya dengan tujuan agar kaum muslim yang menggunakan bahasa Jawa dapat memahami makna Al Qur’an dengan mudah dan dapat memberi manfaat di dunia maupun akhirat. Dan sebagai bentuk khidmah terhadap kaum muslimin, khususnya kaum muslim Jawa, KH. Bisyri Mustafa mengarang kitab tafsir al-Ibriz hingga berjumlah 30 juz yang disusun kurang lebih waktu sekitar enam tahun, yakni mulai 1954 hingga 1960.
Secara umum tafsir ini memang berbentuk global (ijmali), dengan menggunakan metode bi ra’yi. Namun meskipun demikian, pada beberapa tempat juga ada uraian-uraian panafsiran yang cukup panjang. Di samping itu kadang juga dicantumkan berbagai qiraat dari para imam qiraah sab’ah. Corak kombinasi antara fiqih dan tasawuf pun bisa terlihat di kitab ini. Hal itu tidak terlepas dari kaitannya dengan latar belakang mufasirnya, dan juga kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam tafsir Al Ibriz.
Kitab tafsir al-Ibriz tergolong ber-metode tahlili, karena penafsiran ayatnya dilakukan secara keseluruhan mulai dari ayat dan suratnya sesuai urutan mushaf, mulai Al Fatihah hingga al-Nas, kandungan tafsir Al-Ibriz sama halnya seperti dalam Al- Qur’an, kan tetapi dalam tafsir ini lebih diperjelas dengan penafsiran diantara kandungan Al-Qur’an yang secara garis besar: Aqidah, akhlaq, ibadah, hukum-hukum, peringatan, kisah / sejarah.
Pentingnya Ilmu Menurut KH. Bisri Mustofa dalam Tafsir Al Ibriz
Ilmu di dalam tafsir Al Ibriz memiliki makna yang luas, dalam artikel ini penulis membaginya menjadi 3 bagian, yakni : Makna Ilmu, Hukum mencari ilmu dan pentingnya atau manfaat Ilmu.
Makna Ilmu
Makna ilmu dalam Al Qur’an yang penulis paparkan diambil dari Al Baqarah Ayat 31 dan 32,
وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ -٣١- قَالُواْ سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ -٣٢-
Artinya : Sawise Nabi Adam Katitahaken dening pengeran nabi Adam diwulang asmane wernane barang. Sawuse mengkono nuli barang-barang mau deng pangeran dipentukaken marang malaikat kanthi didhawuhi : Coba he poro malaikat ingsun ceritanono jenenge barang-barang iki yen nyoto siro kabeh podo bener (31), Poro malaikat podo matur : Maha Suci Panjenengan dalem paringaken datheng dalem sedaya. Sayektos Panjenengan dalem puniko Dzat ingkang Maha Pirsolan Wicaksono. (32)
Dari ayat diatas kita dapat pahami bahwa, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia menjadi lebih unggul dari makhluk-makhluk lainnya, yang mana ilmu tersebut dapat digunakannya untuk menjadi Khalifah Fil Ard.
*Menurut pandangan Al-Qur’an sebagaimana wahyu pertama ilmu terdiri dari dua macam, Pertama Ilmu Yang tanpa upaya manusia, disebut dengan Ilm Laduni . Kedua , ilmu yang diperoleh karena upaya manusia, disebut dengan Ilm Kasbi . Ayat-ayat tentang Ilm Kasbi lebih banyak dari Ilm Laduni. Pembagian berdasarkan pandangan al-Qur’an yang mengungkapkan adanya hal-hal yang “ada” tetapi tidak diketahui melalui upaya manusia itu sendiri. Ada wujud yang tidak tampak, sebagaimana ditegaskan berkali-kali oleh Al Qur’an.
Hukum Mencari Ilmu
Hukum mencari ilmu dalam Al Qur’an terdapat dalam beberapa ayat, salah satunya adalah At-taubah ayat 122 dan Al-Alaq 1-5. Adapun Surah At-Taubah ayat 122 ini menunjukkan kewajiban Tholabul Ilm dengan kondisi khusus, seperti halnya pada suatu perang. Yang mana apabila Nabi tidak ikut berperang (Sariyyah) maka kaum muslimin tidak diperkenankan untuk berperang semua, akan tetapi sebagian melakukan Thalabul Ilm. Sedangkan apabila nabi mengikuti perang (Ghazwah) kondisi inilah yang memperbolehkan kaum muslimin ikut berperang secara keseluruhan untuk menyertai Nabi, sedangkan Surah Al Alaq ayat 1-5, yakni :
اقرأ باسم ربك الذي خلق (1) خلق الإنسان من علق (2) اقرأ وربك الأكرم (3) الذي علم بالقلم (5) ما لم يعلم (4) علم الإنسان
Mocoho Siro ya Muhammad..!Kawiwitono kanthi nyebut asmane Allah kang nitahake sekabehane makhluk (1), kang nitahake menungso saking gethih sethitik (2), Mocoho siro yaa..Muhammad..! pangeran iro Moho loman(3), kang wis mulang menungso, di wulang nulis kelawan qolam (4), iku kuwoso mulang manungso, diwulang samubarang kang ora dingerteni, koyo agomo, nulis, gegawan lan liyo-liyone(5).
Dari pemaparan Surah Al Alaq ayat 1-5 kita dapat memahami bahwa hukum Tholabul Ilmi itu Fardhu ain sebagaimana perintah membaca dan menulis yang terdapat pada surah al Alaq tersebut. Dan ini berlaku untuk semua umat islam tanpa terkecuali. Dan jika sudah memilki ilmu maka wajib untuk menyampaikan kepada saudaranya (manusia) apa yang telah diketahui supaya dapat meningkatkan keimanan orang-orang Muslimin, dan menyadarkan orang-orang non-muslim. Kemudian dalam penafsiran dari KH. Bisri Musthofa ini juga terdapat catatan (Faidah) : Kawit-kawitane wong kang biso nulis kelawan qolamiku Nabi Idris AS.
Dalam hadist juga terdapat perintah untuk Tholabul Ilm, yakni :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
“Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”. (HR. Ibnu Abdil Barr).
أُطْلُبِ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى الَّلحْدِ
Artinya : Carilah Ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat (Al Hadis)
Dari pemaparan kedua hadis diatas menunjukkan bahwa kewajiban menuntut ilmu itu tidak hanya terdapat dari Al qur’an sahja akan tetapi juga terdapat pada hadis, karena Rasulullah adalah seorang Mufassir Al Qur’an pertama. Dan dari hadis diatas juga menunjukkan bahwa “selama hayat masih dikandung badan kita tetap memilki kewajiban menuntut ilmu.”
Pentingnya Talibul Ilm
Manfaat menuntut ilmu, dalam Al Qur’an akan penulis sebutkan hanya dari surah Al mujadalah ayat 11 dan dilanjutkan dengan hadis, yakni sebagai berikut :
Pertama meningkatkan derajat. Sebagaimana QS. Al Mujadalah ayat 11,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ…
Artinya : ”…..Allah Ta’ala ngluhurake wong-wong kang podho iman sangking siro kabeh lan khususe wong-wong kang diparingi ilmu, pirang-pirang derajat ono ing suwargo, Allah Ta’ala iku marang opo kang siro kabeh podho nindhakake tansah waspodho ”.
Maksudnya, janganlah kalian berkeyakinan bahwa jika salah seorang di antara kalian memberi kelapangan kepada saudaranya, baik yang datang maupun yang akan pergi lalu dia keluar, maka akan mengurangi hak nya. Bahkan hal itu merupakan ketinggian dan perolehan martabat di sisi Allah. Dan Allah tidak menyia-nyiakan hal tersebut, bahkan Dia akan memberikan balasan kepadanya di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya orang yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya dan akan memasyhurkan namanya.
Kedua orang yang menuntut ilmu mempunyai keutamaan lebih baik daripada shalat seratus rakaat. Hal ini sesuai sabda Rasulullah saw kepada Abu Zar sebagai berikut :
يَا أَبَاذَرٍّ ، لَأَنْ تَغْدَوْا فَتُعَلِّمَ اَيَةً مِنْ كِتَابِ اللَّهِ خَيْرٌ لَّكَ مِنْ اَنْ تُصَلِّيَ مِائَةَ رَكْعَةٍ
Artinya : “Wahai Abu Zar, keluarmu dari rumah pada pagi hari untuk mempelajari satu ayat dari kitab Allah, itu lebih baik dari pada engkau mengerjakan sholat seratus rakaat.” HR.Ibnu Majah
Ketiga orang yang suka mencari ilmu akan dimudahkan jalannya menuju surga dan dinaungi oleh para malaikat, sebagaimana sabda Rasulullah saw :
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَالْجَنّة
” Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga, sesungguhnya para malaikat menaungkan sayap-sayapnya kepada orang yang menuntut ilmu karena senang terhadap apa yang diperbuat”.
Ilmu secara umum berarti cara untuk mengetahui kekuasaan Allah, yang mana dengan adanya ilmu kita dapat memahami maupun mengetahui banyaknya ilmu yang ada di dunia ini, walupun jika dalam bebrapa pendapat ilmu yang ada di dunia ini tidak lebih dari setetes ilmu dari lautan ilmu Allah. Meskipun demikian Manusia tetap wajib mencari ilmu guna untuk mempermudah hidup selama hidup di dunia dan di akhirat. Sebagaimana untuk mnecari ilmu yang berada di Al Qur’an maupun As sunnah, dan berlomba-lomba untuk belajar ilmu dan mengajarkan ilmu yang sudah kita pahami. Pengertian salah satu manfaatnya yakni meningkatkan derajat kita dalam pandangan Allah.
@Zid Husain Al Ahmadi – Semester 6